XXIX

22 3 0
                                    

"Sialan," geram Alex saat ia dapat menangkis peluru yang meluncur ke arahnya dengan cepat.

Ketidak tepatan posisi pisau yang ia gunakan untuk menangkis peluru yang mengarah tepat ke dahinya itu membuat timah panas itu meleset dan menyerempet daun telinganya. Rasa berdenging yang begitu kuat langsung memenuhi rongga kelapa Alex. Membuatnya langsung menutup telinga kanannya yang kini mengeluarkan darah.

"Tak kusangka, kau dapat menahan dan mengalihkan peluru yang kutembakkan," ucapnya dengan sinis masih dengan tangan memacungkan pistol kea rah Alex.

JLEB

DOR

Rasa perih langsung menyergap kedua pria itu disaat yang nyaris bersamaan. Rembesan darah nampak kembali membasahi kemeja putih Steve saat sebuah pisau fillet mendarat dengan aman di dada kirinya. Dicabutnya pisau yang menancap dengan sempurna di dadanya tanpa ragu. Darah mengalir keluar semakin derah dari pembuluh darah yang terputus. Dapat ia rasakan kesulitan bernapas akibat luka robek yang ia dapat pada paru-parunya.

Kondisi serupa pun di rasakan oleh Alex. Namun, rasa panas dan perih akibat tembusan timah panas yang kini bersarang pada bahunya. Ia merasakan jika bahu kirinya kini sedikit sulit untuk digerakkan. Ia yakin bila tendon dan ligament bahunya kini terkoyak. Ia menghela napas saat tahu pisau fillet yang melukai dada Steve dapat menggeser arah target yang semula dapat ia perkirakan akan tepat menembus dadanya.

Dengan langkah panjang, dihampirinya lelaki yang kini berlutut di tanah dengan tangan menekan kuat luka pada bagian dadanya. Kulit putih kekuningan pria itu kini nampak memucat. Darahpun nyaris mengubah kemeja putih yang ia kenakan menjadi kemeja berwarna merah. Aroma darah yang kini sampai menetes ke tanah yang berada dibawahnya cukup untuk digunakan sebagai dasar spekulasi bahwa pria itu kehilangan cukup banyak darah dari luka yang baru ia terima.

"Bagaimana sekarang? Aku atau kau yang lemah, Steve?"

Nada rendah yang diucapkan Alex menyapa gendang telinga Steve yang kini terasa pengang. Lelaki itu mendongakkan kepalanya menatap Alex dengan sebilah pisau kecil di tangannya. Ia tahu jika pisau itu bukanlah pisau biasa saat salah satunya menembus dadanya. Ia terkekeh mengingat pertanyaan Alex tadi.

"Tangan kepercayaanmu sudah menunggumu di sana. Begitu pula dengan para pecundang yang terus datang menyerangku beberapa tahun terakhir. Apa kau tidak ingin menyusul mereka?"

JLEB

Sebuah pisau fillet kembali mendarat di tubuh Steve. Alex kembali merogoh tas pinggangnya mengeluarkan tiga buah pisau sekaligus. Dengan mudah, ditancapkan pisau itu masing-masing pada bahu dan perut, menambah jumlah luka yang sudah ia torehkan pada tubuh itu.

"Ba.. Bagaimana bisa.. ada orang sepertimu.. di dunia ini?" suara berat Steve yang melemah hanya terdengar seperti sebuah bisikan di telinga Alex yang masih berdenging, meskipun tidak separah sebelumnya.

"Kau begitu siap menerima kematian kapanpun," lanjutnya dengan suara yang semakin rendah

"Kita semua berjalan beriringan dengan kematian setiap harinya. Jika kau mempercayai bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat nadimu, kau juga harus percaya jika kematian ada pada jarak yang sama,"

Alex merogoh saku jaketnya. Dikeluarkannya sebilah pisau dengan mata pisau yang basah. Pantulan sinar matahari yang jatuh menembus lebatnya dedaunan yang membentuk kanopi pada hutan itu memberikan ilusi seolah pisau itu bercahaya. Alex sendiri dapat melihat dengan jelas bayangan wajahnya dari sana.

"Kau salah memilih musuh, Steve. Jika aku tidak membawamu, Kau seharusnya kini berada dibawah tanah, tetap memenuhi takdirmu untuk berubah menjadi tulang-belulang. Membiarkan para hewan itu menguraikan tubuhmu,"

JLEB

Pisau itu menancap tepat pada bagian atas tengkorak Francis. Pisau itu tertancap sempurna, menembus ubun-ubun pria berambut hitam itu. Alex berlutut, mengambil scalpelnya yang tepat dibawah Steve yang kini terduduk lemas.

DOR

Peluru terakhir dapat diarahkan Steve dengan tangan yang bergetar tepat pada dada samping Alex yang masih menunduk mengambil scalpelnya. Alex bangkit, ditatapnya Steve yang kini telah tumbang ke samping. Dengan langkah yang sesekali terhuyung, Alex mencoba berjalan keluar dari hutan itu. Ia hanya berharap semoga dirinya masih bisa mengingat dengan tepat jalan keluarnya setelah ia sadar telah mengikuti Steve masuk terlalu jauh ke dalam hutan.

Dahulu ia pernah tertembak, di tempat serupa, namun apa yang terjadi padanya setelah itu tidak seburuk apa yang kini ia rasakan. Alex yakin, ada sesuatu pada peluru terakhir yang kini bersarang dalam rongga dadanya itu.

"Racun murni yang kini berada dalam peluru ini,"

"Sialan," umpat pria itu saat ia terjatuh di tengan jalan.

Pandangan Alex kian memburam. Dapat ia rasakan dengan jelas degup jantungnya sendiri yang kian melemah. Mengambil napas yang biasanya tidak pernah menyakitkan, kini rasanya sama dengan menghirup uap panas dari ketel yang mendidih. Kepalanya terasa benar-benar berdenyut. Telinganya yang tadi sempat membaik kini berdenging kembali, lebih parah dari sebelumnya.

Pandangan pria itu jatuh pada scalpel yang ia genggam dengan erat. Dengan semua tenaga yang tersisa, Alex kembali mencoba untuk bangkit. Langkahnya terseok-seok mengikuti jalan setapak yang ia yakini adalah jalur yang biasanya digunakan oleh para pendaki maupun penjelajah.

Rasa sulit bernapas ditambah dengan mati rasa yang mulai melanda tubuhnya dari atas hingga bawah. Rasa dingin yang bersarang dalam kepalanya seolah kepala dalamnya membeku. Ditambah dengan ia tidak lagi dapat menggerakkan bahkan merasakan kaki dan tangannya

Tangan pria itu bergetar hebat. Tubuhnya yang masih ia paksakan untuk terus berjalan itu kini menggigil seolah ia tengah berada ditengah badai salju pada musim panas kali ini. Cerutu yang terselip di bibirnya sudah jatuh entah sejak kapan. Alex jatuh berlutut di tengah jalan setapak kecil itu. Masih digenggamnya dengan erat scalpel berlumuran darah itu. Pandangannya semakin buruk. Ia merasa seolah melihat bayangan beberapa orang yang berdiri tak begitu jauh darinya. Setelah pertarungan puncaknya, Alex roboh.

Kesadaran pria itu belum hilang sepenuhnya saat matanya menangkap bayangan gelap mengelilinginya. Guncangan kecil yang ia rasakan bukanlah sebuah alasan yang cukup kuat baginya untuk menahan beban yang menggantung dimatanya. Rasa kantuk yang tiba-tiba saja datang menghampirinya kini seolah perintah mutlak yang sama sekali tidak bisa dilawan olehnya yang berusaha keras untuk tetap tersadar.

"Aku memang telah menghilangkan ratusan, ah tidak, ribuan mungkin, nyawa orang lain. Baik mereka bersalah ataupun tidak,"

"Mungkin sekarang waktuku untuk menemui malaikat yang sudah berbaik hati mengantarkan jiwa-jiwa mereka kepada pemiliknya yang sesungguhnya,"

Secercah sinar matahari berhasil menembus lebatnya dedaunan, jatuh tepat pada wajah Alex yang kini memucat. Terpenuhinya tujuan utamanya untuk benar-benar menghabisi seorang Black Thunder yang selama ini diperankan dengan apik oleh seorang Edward Stevenson kini mendorongnya untuk tidak lagi mengelak dari takdirnya untuk memenuhi sumpah serapah para korbannya. Datang ke Neraka.




beberapa chapter lagi end nih..
sebelumnya up seminggu dua kali, tapi karena bentar lagi sky uas dan udah mendekati akhir cerita, di up seminggu sekali aja ya 😂
#ngomongsamasiapaini
#plak
#abaikan

The (Psyco) GodfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang