April, 2019
Semilir angin malam berhembus pelan melewati celah bagunan-bangunan lama yang berjajar rapi sepanjang jalan utama Kota Paris. Jam malam yang telah berlaku tidak menyurutkan beberapa pelancong maupun warga local untuk berjalan dibawah temaram lampu jalan klasik yang menerangi trotoar. Beberapa kali mobil pribadi melintas pada jalanan beraspal yang nampak begitu lengang.
Segerombol pria yang baru saja turun dari sebuah limousine mewah yang berhenti di salah satu club elite di jantung kota itu menarik perhatian banyak pasang mata yang telah berada di dalam club. Tak hanya karena paras rapper muda itu yang rupawan, posisinya yang tak lain merupakan anak pemilik club sekaligus seorang pemuda arogan membuat pengunjung lain antara bersyukur dan menyumpah akan kedatangan pemuda itu malam ini. Suasana masih sebising tadi namun para pengunjung kini sedikit menjauh dari tempat pemuda dan bodyguardnya itu berada.
Seorang pria yang hanya mengenakan kaus v neck hitam lusuh duduk di sebuah kursi bar dengan tangan yang sibuk memutar botol kecil red wine yang sudah kosong. Matanya yang terpejam sejak beberapa menit lalu bukanlah sebuah tanda apabila pria itu telah tiba di penghujung kesadarannya setelah menghabiskan dua botol anggur dan dua botol vodka berkadar alcohol tinggi. Ia mengabaikan perasaannya akan tatapan tajam beberapa orang disekelilinngnya, termasuk dari belakangnya.
"Hei, dude, menyingkirlah. Ini bukan tempat pribadi untuk gelandangan sepertimu," ucap seorang lelaki dengan style khas seorang rapper muda. Disampingnya ada beberapa wanita malam dengan berpakaian supper minim dan beberapa pria berjas dengan badan kekarnya.
Pria itu masih tetap menunduk dengan tangan yang masih terus memutar botol wine yang ia ada di atas meja. Telinganya menangkap denga jelas tawa sinis manusia yang lebih muda darinya itu, disusul suara jentikan jari sebelum sebuah pukulan melajang menuju pinggangnya. Pria itu bahkan tidak bergeming dari tempatnya meskipun pukulan yang cukup kuat melayang ke pinggang kanannya. Tawa sinis pemuda itu hilang begitu saja melihat pria itu sama sekali tidak bergerak.
"Hei, menyingkirlah," tegurnya lagi yang masih diabaikan oleh pria itu.
Dengan tetap mengoceh, diambilnya sebuah botol wine yang dibawa oleh seorang pelayan yang kebetulan lewat di sampingnya. Tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin ia terima, lelaki itu mengayunkan botol itu menuju pria yang masih duduk di kursi favoritnya. Pria itu menggeram lalu berdiri dari kursi bar yang ia duduki 2 jam ini.
"Hei, santai, bung," tegur seorang pria berbadan besar yang tak lain merupakan bodyguard lelaki yang menyulut emosinya.
Tepisan kasar diterima oleh pria yang mencoba menarik lengan kekarnya dari kerah lelaki yang kini meringis mendapatkan tatapan tajam dari pria yang punggungnya basah kuyup itu. Sebuah pukulan dilayangkan oleh seorang bodyguard yang ditangkis dengan mudah oleh pria itu.
BUGH
Sebuah pukulan yang dilayangkan pria itu mengakibatkan seorang bodyguard yang hendak meninju wajahnya kini terpelanting tak sadarkan diri ke lantai club. Ditatapnya dengan tajam seorang bodyguard yang baru saja melayangkan pukulan ke pinggang pria berambut hitam legam itu. Tangan kokoh pria itu langsung menggenggam kepalan tangan bodyguard yang kembali ingin meninjunya. Dengan sekali sentak, bodyguard itu langsung berada tepat di hadapan pria yang masih diam tak bersuara.
BUGH BUGH
Pukulan beruntun langsung menghujami dada bodyguard itu. Ditatapnya bodyguard lain yang langsung dihadiahi sebuah pukulan kuat tepat pada bagian jakun yang membuatnya langsung terjatuh dan mengerang kesakitan.
"Aaargh," erang bodyguard yang masih berdiri dihadapan pria itu saat siku tangannya dipukul kuat kedalam. Sudah dapat dipastikan jika persendian siku tersebut hancur.
"Jangan mendekat," teriak lelaki yang kini bergetar ketakutan melihat pria yang masih berdiri kokoh itu berjalan ke arahnya, "Atau akan kupanggilkan papa, dan kau akan meringkuk dalam penjara selamanya!"
Pria itu tertawa tanpa menghentikan langkahnya mendekati lelaki yang kini tersudut di dinding club. Dengan sebuah hentakan kuat, ditamparnya lelaki itu menggunakan punggung tangannya. Tatapan tajam pria itu menangkap cairan berwarna merah turun dengan deras melalui lubang hidung lelaki yang ia taksir berusia 20 tahun. Sudut bibir kehitamannya pun mengeluarkan darah.
Bisikan-bisikan yang berasal dari pengunjung lain club menyapa indera pria itu. Ia hanya diam dan memilih mengabaikan mereka. Masih dengan wajah datarnya, pria itu menatap tajam bodyguard yang masih terkulai di lantai. Ketegangan begitu terasa di club itu. Disk jockey yang tadi sempat terdiam dan menghentikan aktivitasnya, kini kembali menjalankan tugasnya, menarik satu persatu perhatian pelanggan club itu dengan keahliannya.
Setelah membuat keributan yang cukup menyita perhatian pengunjung club elite itu, pria itu kembali berjalan santai dan duduk di tempatnya tadi. Seolah tak terjadi apa-apa, kegiatan di club kembali berlanjut mengikuti music yang digubah oleh sang disk jockey dari singgasananya.
Meskipun demikian, mereka tak menyangka ada yang berani menampar anak pengusaha sekaligus pemilik bar yang kini mereka tempati. Mereka hanya bisa menerka siapa pria itu sebenarnya dan apa yang akan Tuhan putuskan atas masa depan pria malang yang kini mereka jamin akan menikmati sisa umurnya dibalik jeruji besi.
"Kau cukup berani melakukan hal itu," celetuk seorang wanita dengan kemeja kedodoran yang menutupi hot pants yang ia kenakan.
"Kurasa kau sekarang menjadi man of the day disini. Mereka semua melirik bahkan menatap ke arahmu," lanjutnya dengan tatapan ia sapukan ke sekitarnya.
Pria itu hanya diam dan menerima botol alcohol yang baru di berikan oleh bartender kepadanya. Ditatapnya sekilas wanita disampingnya sebelum ia minum cairan bening itu langsung dari botolnya. Ia sedang malas menanggapi wanita yang menarik kursi bar lain mendekat, lalu duduk diatasnya.
"Aku, Siena Scarlet," ucapnya dengan ramah yang kembali tidak ditanggapi oleh pria itu. Hal ini membuatnya mendengus sebal, "kau bisu atau bagaimana sih?"
Tanpa banyak bicara, dituangkan cairan bening memabukkan itu ke gelas dihadapannya yang masih bersih lalu disodorkan kepada wanita yang sudah kini menatapnya intens dengan tatapan bertanya. Wanita itu mengangkat alisnya sebelum meminum alcohol yang juga diminum pria itu langsung dari botolnya.
"Xavier Peterson," ucap pria itu setelah menghabiskan botol kesekiannya.
"Kuakui kau cukup tahan dalam urusan minum. Oh ya, ngomong-ngomong, bahumu berdarah," wanita itu menyunggingkan senyuman manisnya saat mengetahui pria disampingnya ini tidaklah bisu.
Pria yang tadi membuat kehebohan di club yang pertama kali ia kunjungi ini memanglah Jason, Jason Zeus. Setelah hampir 5 bulan mengurus urusan bisnis guna memperlebar sayap perusahaan yang ia miliki. Akhirnya, ia terbebas dari segala beban bisnis setelah mampu mengikat dan menundukkan 4 perusahaan besar di benua biru.
"Uh, sepertinya kau kedatangan tamu," bisik wanita itu saat ekor matanya menangkap lelaki badung yang tadi ditampar Jason berdiri dengan sombong bersama seorang pria yang tak lain adalah ayahnya, sang pengusaha berkepala besar, Mr. Kern.
"Papa. Dia pria yang sudah memukulku," ditunjuknya Jason yang kembali minum alkoholnya yang masih tersisa sedikit.
Pria paruh baya itu menatap Jason dengan lekat. Tatapan merendahkannya membuat Siena memutar mata malas. Jason sendiri masih tidak berbalik. Ia masih menghadap ke depan, mengabaikan dua manusia yang kini menunjuk-nunjuk kea rah Jason. Sumpah serapah, cacian, serta makian yang keduanya ucapkan pun hinggap pada pendengaran tajam pria berkaus hitam itu.
"Saya sangat menyayangkan terjadinya kejadian seperti ini. Tak kusangka ada yang berani menampar anak emasku. Apa kau tak tahu siapa aku?" ucap pria itu dengan sombong. Suasana klub langsung sunyi saat mengetahui pemilik klub datang, "segeralah pergi dari klubku, nak. Atau kau ingin bertemu dengan pengacaraku untuk memesankan tempat khusus bagiu di balik jeruji besi?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The (Psyco) Godfather
RandomJangan mencari masalah denganku. Jika tidak aku yang akan datang membantaimu dengan tanganku sendiri - Alexandro Alvaro