XXVIII

22 3 0
                                    

Ditarik dan dihempaskannya tubuh Alex beberapa kali ke batang pohon yang sama dengan begitu kuatnya. Deru napas Alex yang melemah berbanding terbalik dengan pria yang masih mencekik lehernya dengan kuatnya. Deru nafas yang tersengal itu tampak mengisi kesunyian di hutan yang menjadi saksi bisu aksi kedua lelaki itu.

BUGH

Alas sepatu safety militer yang digunakan pria itu mendarat dengan mulus di dada Alex. Alex sendiri langsung merasakan dadanya sesak setelah menerima tendangan Steve. Memang tidak sekuat tendangan Jason tetapi rasanya yang tidak jauh berbeda membuatnya jatuh terduduk beralaskan tanah yang sedikit basah. Alex memejamkan matanya saat sebuah ingatan masa remajanya kembali muncul ke permukaan.

Hujan turun dengan derasnya membasahi bumi. Angin kencang sesekali berhembus menggoyangkan pepohonan yang berjejer rapi di perkebunan yang kini tertutup oleh kabut. Seorang lelaki hanya terduduk lemas di tanah yang becek. Darah mengalir dengan cukup deras dari hidung mancungnya. Ia hanya memejamkan matanya merasakan nyeri hebat yang seolah menyelimuti seluruh bagian tubuhnya.

"Apa hanya ini kemampuanmu? Kau begitu menyedihkan Alex," ucap lelaki berbadan atletis dihadapannya.

"Harusnya kau tetap meringkuk di balik punggung Sean! Kau dengan apa yang kau miliki sekarang menantangku? Begitu, huh?" Tanya lelaki itu lagi.

"Jawab aku, brengsek!"

BUGH

Sebuah tendangan kuat melayang begitu saja menghantam wajah lelaki itu, lagi. Begitu banyak memar yang menghiasi tubuh lelaki yang terduduk di atas tanah itu. Darah yang ikut hanyut bersama air hujan yang membasahi wajahnya tidak berhenti mengalir sejak tadi.

Tubuh lelaki berambut hitam itu basah oleh air hujan yang kini turun bagaikan air yang turun dari shower mandinya, seolah membersihkan tubuhnya yang sebelumnya berlumuran darah lelaki dihadapannya. Rahangnya mengeras. Tatapan mata biru kelabu lelaki itu memancarkan rasa ingin membunuh yang begitu besar.

"Harusnya aku yang mengatakan itu, Jason. Fisikmu begitu menyedihkan," ucap Alex yang kini kembali bangkit. Napasnya yang biasanya begitu tenang kini tersengal.

Kedua lelaki itu kembali adu fisik dibawah guyuran hujan yang begitu lebat. Tak begitu jauh dari keduanya, dua orang lelaki hanya bisa memperhatikan bagaimana kemurkaan lelaki berambut hitam itu kepada lelaki berambut coklat yang kini kembali tersudutkan ke pohon redwood yang menjulang tinggi di belakangnya.

"Sean, apa kau hanya akan diam? Alex bisa mati jika seperti ini," ucap seorang lelaki yang mengenakan kaus hitam.

"Mereka berdua memang bodoh. Biarkan saja mereka adu otot seperti itu. Ayo masuk," ucap lelaki yang lebih tinggi itu dengan santai. Baru beberapa langkah ia melangkah, sebuah suara bantingan membuat langkahnya terhenti.

"Jason!" teriak Kevin yang terdengar begitu lirih diantara suara langit yang sedari tadi bergemuruh saling bersahutan..

Teriakan Kevin membuat lelaki berambut pirang itu berhenti. Ia hanya menolehkan kepalanya kebelakang. Dilihatnya bagaimana tangan atletis lelasi bernama Jason itu mencengkram leher Alex yang kini kembali terduduk lemas di tanah.

BRAK

Sean hanya bisa menghela napas saat ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Jason membanting tubuh Alex ke pohon yang sama berulang kali. Dengan tangan kirinya memegang payung hitam berukuran besar dan tangan kanannya yang ia masukkan dalam saku jeans pendeknya, ia berjalan santai menghampiri keduanya.

"Kau tidak akan bisa melampaui fisik Jason, Alex. Kita tidak bisa memaksakan potensi diri masing-masing," ucap Sean yang membuat cengkraman kuat di wajah Alex terlepas, "Dunia ini diisi dengan manusia dengan potensi mereka yang beragam pula,"

"Arghh. Jangan ikut campur Sean!" desis Jason saat lelaki pirang itu mengarahkan tatapannya kearahnya. Tatapan haus akan darahnya perlahan mulai memudar melihat tatapan yang Sean berikan kepadanya.

"Suatu saat nanti aka nada waktunya kau berhadapan dengan seseorang dengan fisik sekuat atau hanya nyaris menyamai Jason. Kau harus menemukan cara untuk bisa menjatuhkannya. Fisikmu memang tidak sekuat Jason, tapi kau memiliki kelebihan yang Jason tidak miliki. Begitu pula denganmu, Jason," ucap Sean yang ini kembali berjalan meninggalka ketiganya yang kini saling diam, "Bukankah kita bersaudara? Jangan membunuh saudaramu sendiri,"

'Saudara ya,'

Steve yang tersenyum kecut menatap salah satu bos dunia bawah tanah terduduk tak berdaya dihadapannya. Memar dan bercak darah menghiasi wajah pria itu. Darah pun turut membasahi pinggangnya. Diraihnya pistol berkuran kecil yang tadi terjatuh di tanah. Dihirupnya oksigen dalam-dalam, lalu dihembuskannya perlahan.

"Hanya sekali aku pernah hampir mati. Itupun saat aku melawan saudaraku sendiri,"

Kerutan nampak nyata di kening Steve. Ia itu cukup terkejut saat ia berbalik, Alex yang tadinya seolah sudah tumbang kini berdiri tegap dengan selinting cerutu terselip di antara bibirnya. Lengan jaketnya kini tergulung hingga atas siku. Dirogohnya kantung jeans hitam yang ia gunakan, sebuah benda kotak berukuran kecil kini berada dalam genggamannya.

"Harusnya aku tidak ragu menghabisimu, sebab kau bukanlah saudaraku," lanjutnya setelah memantik api pada ujung cerutunya, "kau mau pesan apa? Paket kilat atau paket combo?"

"Simpan pesananmu itu brengsek!"

Sebuah tendangan kuat kembali didaratkan ke sisi kiri tubuh Alex, namun dengan apiknya tendangan itu berhasil ia hentikan. Kaki dalam balutan celana kain hitam itu tidak begitu saja dilepaskan. Scalpel yang berada dalam genggaman tangan pria itu langsung dilayangkan menuju lelaki yang selama ini menjadi orang kepercayaannya.

JLEB

"Aarghhh,"

Erangan langsung keluar dengan cukup keras dari mulut pria itu saat scalpel itu menusuk bagian belakang lututnya. Tak berhenti sampai di sana, scalpel itu bergerak menuju kaki bagian atas, meninggalkan sebuah luka sayatan yang cukup dalam dan terbuka. Memberikan jalan keluar bagi cairan kental berbau anyir itu menetes membasahi celana hitam yang kini telah robek.

JLEB

SRET

Scalpel tajam itu kini berpindah. Menikan dan akhirnya menyayat bagian pinggang hingga punggung ajudan kepercayaannya. Benda itu masih tertancap di punggungnya saat ia menjauhkan diri dari Alex. Darah segarpun kembali membasahi kemeja putih itu. Dengan kasar, dicabutnya dengan asal scalpel itu sebelum akhirnya ia jatuhkan begitu saja ke atas tanah.

"Apa hanya ini kemampuanmu?" Tanya Alex dengan ekspresi datarnya, "Aku masih menunggu kau mencabut nyawamu sendiri. Ayolah, aku sudah mulai bosan disini,"

"Kau..."

Bersamaan dengan hembusan napas pria yang mengepulkan asap berwarna putih, sebuah serangan tak terduga datang menyapa tubuhnya. Sebuah tendangan yang membuat Alex nyaris saja jatuh tersungkur kebelakang. Meski demikian, pria itu masih tenang.

Kehilangan sebuah scalpel bukan berarti Alex kini tidak memiliki senjata tajam. Pisau fillet kini berada di kedua tangannya. Ditatapnya dengan mata memicing pria yang kembali mengarahkan pistol ke arahnya. Gerakan pistol itu cukup cepat hingga pria dengan pisau digenggamannya itu belum sempat memasang posisi bertahan guna menangkis peluru yang bisa menembus tubuhnya dalam waktu singkat itu.

DOR

The (Psyco) GodfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang