Diraihnya telapak tangan kiri kapten itu. Beberapa kali pukulan lemah melayang menghampiri Alex yang masih tidak bergeming seolah pukulan itu tak lebih dari pukulan bayi yang sedang merengek. Tangan itu diangkat setinggi dagu pria 176 cm itu. Ditempelkan permukaan lancip paku beton sepanjang 10 cm tepat pada telapak tangan kapten yang masih berusaha melepaskan tangannya. Diayunkan tangan kanannya memukulkan permukaan kepala palu besi itu menghantam kepala paku yang langsung menembus telapak tangan sang kapten yang kini mengucurkan darah.
Sementara Alex masih terus memukulkan palunya, pria itu hanya bisa membuang muka setiap kali kedua logam itu beradu. 20 menit waktu yang Alex butuhkan untuk menempelkan kedua telapak tangan pria yang kini hanya bisa menunduk merasakan nyeri hebat di kedua tangannya. Ia menjauh melihat bagaimana tangan kapten yang kini terangkat, terpasung di dinding. Ia tersenyum samar sebelum akhirnya kembali mendekat.
Tangan Alex bergerak menyentuh luka yang darahnya kini mulai mengering. Ia tersenyum singkat sebelum menyentuhkan mata scalpelnya ke kulit pada bagian dada sang kapten yang bidang. Scalpel itu bergerak bebas membuat sebuah garis abstrak tanpa terputus. Kapten sendiri hanya bisa meringis saat Alex mengukir kulitnya. Ia sadar jika ini hanya permulaan.
"Kuharap kau suka gambar pohon Oak," ucap pria yang kini memantik korek gasnya menyalakan sebatang cerutu yang kini terselip di antara kedua bibirnya.
Ditatapnya lekat-lekat sketsa pohon Oak yang baru saja ia ciptakan. Darahpun membentuk sebuah tetesan-tetesan kecil yang kini jatuh menuruni kulit pria itu. Cairan berwarna merah itu meninggalkan jejak yang kini mulai mongering, jejak dengan warna yang begitu kontras dengan kulit berwarna cerah.
"Arghh," erang pria itu saat Alex mulai melakukan ritual pemisahan jaringan epidermis dari otot yang ditutupinya.
Perlahan, Alex mulai mengiris kulit putih tersebut. Tidak hanya menguliti, Pria bermata hazel itu juga memberikan lekuk dan kontur pada karyanya sehingga karyanya kali ini memberikan kesan 3 dimensi. Asap yang mengepul keluar langsung menyentuuh permukaan daging yang masih meneteskan darah sesekali saat Alex menghembuskan keluar asap cerutu yang memenuhi rongga dadanya. Potongan-potongan daging pula kullit berserakan di bawah kursi tempat sang kapten terduduk.
Jika sebelumnya kulit kapten itu nampak begitu segar lengkap dengan bibir pink kehitaman, kini hanya ada kulit pucat dengan kondisi bibir yang tidak jauh berbeda. Beberapa kali tubuh kekar itu bergetar seolah berada di tengah badai salju tanpa sehelaipun pakaian menempel pada tubuhnya. Namun kini, ia hanya diam. Deru nafasnya begitu lirih namun terengah-engah seolah ia baru menyelesaikan lari marathon sejauh 10.000 meter. Alex yang melihat ini hanya tersenyum sinis.
"Pesanan kedua, daging tanpa kulit, siap. Sekarang pesanan terakhir, organ dalam," Alex mengucapkan itu tanpa menatap sang kapten yang kini menatapnya dengan tatapan kosong.
Alex mengernyit saat bibir pria itu bergerak. Didekatkannya kepalanya kesamping kepala pria itu.
"Apa aku boleh meminta sesuatu padamu?" tanyanya dengan nada suara yang begitu lemah.
Sebuah kerutam muncul di kening Alex. Matanya memicing saat mendengar dengan begitu jelas apa yang pria itu ucapkan. Memang bukan yang pertama kalinya, namun permintaan di saat-saat seperti ini tidak pernah ia duga sebelumnya.
"Tolong ambil sebuah amplop di dalam rak kayu itu. Laci kedua. Ada sebuah amplop coklat dengan segel kepala singa. Berikan itu kepada pihak pos," suara lemah dan terputus pria itu bukanlah sebuah alasan bagi Alex untuk menolak keinginannya. Alex mengangguk mengiyakan permintaan sederhana pria itu.
"Hanya ini? Memangnya apa isinya?" Tanya Alex yang kini mengambil amplop itu.
Bercak darah mengotori amplop coklat yang semulanya bersih itu. Ukurannya yang kecil ditambah lagi dengan tekstur kaku dan ringannya, Alex dapat menduga jika isi amplop itu tak lain adalah sebuah foto. Tapi foto apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
The (Psyco) Godfather
RandomJangan mencari masalah denganku. Jika tidak aku yang akan datang membantaimu dengan tanganku sendiri - Alexandro Alvaro