XXXI

36 1 0
                                    

Mark yang memiliki postur tubuh lebih besar dari Alex sama sekali tidak kesulitan untuk menggendong pria sekarat itu. Mia sendiri membawakan tas ransel kecil milik Mark. Dengan tergesa keduanya kini berjalan semi berlari menyusuri jalan setapak yang akan membawa keduanya menyusul Ken keluar dari hutan.

Mobil dengan bak terbuka itu sudah dalam keadaan siap melaju saat Mia dan Mark sampai. Mark langsung menurunkan Alex di bangku belakang kemudian beralih menuju jok kemudi. Mia sendiri memilih mencoba mencari identitas pria itu sementara Ken langsung memberikan pertolongan pertama dengan menutup 4 luka tembak yang masih mengucurkan darah segar. Sebuah masker oksigen tak lupa ia pasangkan pada pria itu.

"Mark. Terobos saja semuanya. Biar aku yang menjelaskan jika kau harus berurusan dengan polisi," ucap Ken yang menyadari jika kondisi pria yan terbaring itu keadaannya semakin buruk. Mark hanya diam dan lansung menambah kecepatan mobil bak yang ia kemudikan.

"Ken, aku tidak menemukan apapun. Bahkan pria ini tidak membawa dompet," ucap Mia dengan frustasi.

"Coba cari lagi. Ayolah Matthew, angkat," geram Ken saat panggilannya dilewatkan begitu saja oleh bosnya itu.

"Ah, di pisaunya tertulis Alexandro Alvaro," ucap Mia setelah mengambil scalpel yang sedari tadi Alex genggam, "kurasa namanya Alexandro Alvaro,"

Ken hanya menggangguk. Sementara menunggu panggilannya diangkat, Ken masih tidak mengalihkan fokusnya dari tubuh pasiennya yang kini shirtless. Kondisi jok yang ia atur sedemikian rupa hingga memberikan ruangan yang cukup baginya sangat membantu terutama ketika ia harus berpindah tempat.

Dilihatnya hasil tes darah pria ini yang membuat Ken menggeram frustasi. Keadaannya yang berada di pucuk tebing hidup dan mati, ditambah golongan darah pria itu termasuk dalam golongan sangat langka, AB-. Dihubunginya kembali pihak rumah sakit yang tadi ia hubungi untuk menginformasikan jenis golongan darah pria itu. Dan kembali ia coba menghubungi Kevin.

"Halo, selamat siang dengan,"

"Cepat panggilkan dokter Matthew. Ini aku Ken. Ada keadaan darurat," sela Ken mendengar sapaan pembuka oleh bagian resepsionis di seberang.

"Oke. Tunggu,"

Setelah dua kata itu terlontar, tidak ada suara yan terdengar selain suara obrolan da langkah tergesa yang tertangkap oleh sensor suara gagang telepon reseprionis rumah sakit itu. Tak begitu lama, suara yang Ken harapkan ia dengar terdengar juga.

"Ada apa Ken?" ucap pemilik rumah sakit itu dengan nada sedikit was-was. Pasalnya, Ken sama sekali tidak menyebutkan keadaan darurat.

"Apa kau mengenal seorang pria bernama Alexandro Alvaro? Dia memiliki scalpel yang kurasa cukup mirip dengan scalpel bedah lama mu," ucap Ken yang membuat Kevin terdiam sejenak.

"Aku mengenalnya. Dia kenapa?"

"Sulit untuk menjelaskan keadaannya. Kuharap kau segera datang ke Rumah Sakit Wrentchester. Keadaan pria ini benar-benar buruk. Pendarahan, luka tembak, ditambah racun yang kuduga racun paduan bisa viper dan tanaman ancordionite. Jangan lupa bawa dua kantong darah AB-,"

"Ya tunggu disana,"

Panggilan terputus. Ken tidak mengerti siapa sebenarnya pria yang sekarat ini dan apa hubungannya dengan bosnya hingga tanpa piker panjang bosnya itu langsung mau menuju Ottawa. Ia yakin jika dokter itu akan tiba di rumah sakit yang ia tuju kini kurang dari satu jam.

Sepuluh menit perjalanan, mobil nya kini langsung mengerem cukup kuat tepat di depan lobby rumah sakit. Tim dokter yang sudah bersiap langsung memindahkan pria itu menuju menuju UGD yang telah mereka siapkan setelah menerima telepon dokter muda itu. Ken sendiri pun ikut bergegas masuk mengikuti tim dokter yang ada didepannya.

"Jika dokter Peterson datang, katakan padanya jika aku berada didalam," ucapan Ken langsung diangguki oleh kedua rekannya.

Punggung tegap lelaki itu menghilang di balik pintu besi ruang UGD yang tertutup secara otomatis. Didalam, ada beberapa dokter umum yang tengah melakukan serangkaian prosedur pembedahan untuk mengeluarkan proyektil yang bersarang dalam tubuh pria bertubuh tegap itu.

Penjelasan dari tim dokter yang menerangkan jika rumah sakit mereka tidak memiliki fasilitas yang cukup dan tim dokter yang mampu mengatasi segala macam kondisi pasien. Memang rumah sakit kecil itu berada di tempat yang cukup jauh dari pusat kota. Tidak begitu banyak orang yang berkunjung kesana apabila penyakit dan keluhan mereka cukup parah.

Kening Ken berkerut saat mendapati sesuatu yang janggal dari sebutir proyektil yang baru saja dikeluarkan dari dalam rongga dada pria itu. Bentuknya yang berbeda dari tiga proyektil lain membuatnya yakin jika racun yang beredar dalam tubuh pria itu berasal dari proyektil itu.

"Tolong lanjutkan, jangan suntikkan apapun ke dalam tubuh pria itu selain apa yang sudah saya sebutkan tadi. Ada sesuatu yang harus aku periksa,"

Ken langsung menuju ke laboraturium untuk mengecek jenis racun yang terkandung dalam proyektil itu. Dengan begitu berhati-hati ia mencoba mengungkap misteri racun yang membuatnya penasaran. Seringnya ia ikut dalam eksperimen kimia yang dilakukan bosnya, pengetahuannya akan zat-zat kimia semakin luas.

"Ah, sial. Racun itu tidak akan membunuh secara cepat, tetapi akan memberikan kerusakan pasti pada organ dalamnya. Diperparah dengan efek penutupan saluran pompa natrium kalium. Arghh,"

Masih dengan pakaian sterilnya ia berjalan menuju ranselnya yang ia geletakkan di meja resepsionis. Dibongkarnya isi tasnya itu hingga ia menemukan sesuatu yang ia cari. Sebuah botol kaca berukuran kecil yang ia peroleh dari Kevin beberapa bulan lalu. Dengan langkah tergesa ia kembali ke dalam UGD.

"Ken!" suara bernada tinggi menyapa indera pendengarannya, membuatnya menoleh.

Tampang berantakan lelaki yang nampak begitu khawatir itu membuat Ken merasa sedikit lebih tenang. Sebuah tas khusus untuk membawa darah berada dalam tentengan lelaki yang tak lain adalah bos Ken sendiri.

"Ayo ikuti aku. Luka tembaknya masih berada dalam proses penjahitan," jelas Ken yang kembali berjalan cepat menuju sebuah ruangan yang tadi ditunjukkan oleh seorang perawat.

"Bagaimana keadaannya?" tangan Kevin bergerak meletakkan sekantong darah yang ia bawa dalam tas khusus pada lemari penyimpanan.

"Sangat buruk. Dalam 2 jam, ia akan mengalami kegagalan fungsi organ secara beruntun. Racun dalam darahnya jika tidak segera dikeluarkan akan mempercepat disfungsi organnya sendiri," ucap Ken yang kini mengatur ulang mesin pencuci darah yang berada di sudut ruangan.

"Ceritakan padaku, terutama masalah racun itu,"

Ucapan Kevin langsung berbuah sebuah cerita yang mengalir dari mulut asistennya yang kini menakar dosis dari cairan yang berada dalam botol bening itu. Suara lirih deru mesin pendingin ruangan yang terpasang pada dinding merupakan satu-satunya suara yang menemani obrolan seius kedua lelaki itu. Aroma kuat dari bahan kimia pun tak lupa memenuhi ruangan itu.

"Jika seperti ini sudah jelas pria bodoh itu akan mengalami gagal liver dan juga ginjal," gumam Kevin

"Beri dia 10 ml dengan dosis 92%, Ken," sela Kevin saat ia merasa dosis yang digunakan oleh aistennya itu terlalu rendah.

"Matt, apa kau gila? Dia akan mati jika diberikan dosis setinggi itu!" teriak Ken yang tidak percaya akan ucapan dokter seniornya.

"Pertama, aku tidak gila. Kedua, dia justru akan mati jika tidak diberikan dosis setinggi itu," ucapan Kevin sukses membuat Ken yang hendak memasang zat kimia untuk menetralkan racun dalam darah Alex menakar ulang apa yang akan ia berikan, "Langsung suntikkan pada arteri superiornya. Akan kuracikkan penawar racunnya,"

Keduanya berpisah. Ken yang kembali membawa sekantong darah yang cocok dengan golongan darah Alex yang dibawa Kevin kini kembali ke ruang UGD dimana proses penjahitan baru saja selesai. Ia meminta seorang perawat memasangkan jarum infus dari kantong darah yang baru saja ia berikan, sedangkan dirinya sendiri lebih memilih menyuntikkan cairan bening pada bagian leher.

Decit pintu UGD terdengar saat seseorang membuka pintu itu. Lelaki dengan jas dokter putih itu berdiri diam memperhatikan pria yang kini terbaring tidak sadarkan diri diatas ranjang bedah. Matanya memancarkan kekosongan di sana.

"Akan kubawa dia ke Boston," ucapnya yang kini berdiri di samping pria itu.

The (Psyco) GodfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang