XVIII

41 4 0
                                    

Suara khas milik Kevin menggema di ruangan hotel tempat Jason bermalam selama 3 minggu ia di Paris. Kening Jason berkerut mendengar suara Kevin dari ponselnya yang sengaja ia loudspeaker. Tangannya bergerak membuka lemari pakaian dan mengganti pakaian yang ia kenakan dengan kaus polos berwarna maroon dan celana pendek kotak-kotak selutut.

"Perusahaan property milik tua bangka Kern, pabrik sekaligus lahan produksi wine terbesar di Bordeaux, Perancis, sebuah pabrik bir di Inggris, dan sebuah perkebunan seluas Nevada di Rusia," jelas Jason setelah selesai berganti baju. Kini, Ia beranjak mengambil sebotol red-wine seharga hampir US$4000 atau lebih dari 55 juta rupiah untuk satu liter cairan merah dalam botol kaca berwarna hijau gelap itu.

"Apa kau yakin hanya empat?" Kevin kembali melayangkan pertanyaan dengan penekanan kuat pada kata terakhir.

"Tidak. Itu yang kepemilikannya sekarang menjadi milikku. Ada beberapa yang belum menjadi milikku seutuhnya. Aku hanya membeli 40% saham mereka," jawab Jason dengan santai, ia berdiri menghadap dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan malam menara eifel yang menyala di malam hari. "dimana kau sekarang?"

"Apapun itu, jangan terlalu banyak minum. Aku tidak sudi jika harus repot mencari ginjal untukmu kelak. Sekarang aku berada di San Fransisco,"

Panggilan itu langsung diputuskan oleh Jason yang meletakkan kembali botol wine yang bahkan belum ia buka di atas nakas. Pria itu lebih memilih membanting tubuhnya di atas ranjang European king size putih itu. Matanya memejam berusaha mencapai alam bawah sadarnya secepat mungkin mengingat esok sore ia harus beranjak pergi dari negeri penuh romansa menuju kota yang dikenal sebagai pusat perdagangan terbesar di Asia.

Matahari sudah nampak tinggi walaupun jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Hal ini membuat seorang pria menggeliat pelan saat sinar matahari jatuh tepat pada wajahnya. Pria itu bangkit dan bersandar pada sandaran ranjangnya. Tangan kokoh miliknya bergerak meremas pelan kepalanya yang berdenyut, akibat dari terlalu banyak minum semalam. Dengan langkah berat, ia melangkah memasuki kamar mandi dengan niat membersihkan badannya yang masih membawa aroma club barunya yang semalam ia kunjungi.

Sebuah tas ransel kecil menggantung di punggung tegap pria yang mengenakan jeans hitam dengan sepatu olahraga yang berwarna senada dengan jaket putih yang ia kenakan. Didalam tasnya hanya berisi sebuah jaket yang ia peroleh dari wanita pirang yang ia temui di club tadi malam, tak lupa dokumen imigrasi miliknya yang ia bawa lengkap. Sekarang, ia sadar, semakin cepat ia menemukan dua orang yang diminta Alex, akan semakin baik.

Matanya memicing melihat jarum jam yang masih menunjukkan pukul 7 pagi. Ia teringat jika pesawat pribadinya baru akan tiba 3 jam dari sekarang. Jason yang teringat jika dirinya belum menyantap apapun sejak kemarin pagi hanya bisa mendesah pelan dan memilih mempercepat langkah kakinya menuju sebuah restaurant yang cukup terkenal di ujung jalan.

Baru dua langkah panjang, seseorang mendorongnya dengan cukup kuat ke samping kiri, menuju sebuah gang sempit yang cukup gelap. Diluar dugaan, orang itu langsung menyambar bibirnya, melumatnya cukup lama. Mata Jason hanya menatap tajam mata terpejam orang yang kini tengah melumat bibirnya. Bulu mata wanita itu lentik, ditambah dengan alis tipisnya yang tebal membuat Jason berusaha mengingat sosok wanita dihadapannya itu.

Jason yang tidak mengalihkan pandangannya saat seseorang itu menjauhkan wajahnya. Kelopak matanya terbuka perlahan, menampakkan manik hijau gelapnya yang begitu menawan. Digigitnya bibir bawahnya yang ranum itu, berusaha menggoda Jason yang masih tidak mengubah ekspresi datarnya.

"Apa maumu Nona Siena Scarlet?" desis Jason setelah terdiam cukup lama berusaha mengingat wanita pirang dihadapannya ini.

"Aku ingin menawarkan bisnis padamu, Xavier. Kali ini, aku benar-benar butuh bantuanmu," ucapnya yang menatap lurus pada iris biru terang milik pria yang lebih tinggi darinya ini.

"Aku sedang ada urusan bisnis lain, nona," Jason hanya menggeser keberadaan wanita dihadapannya ini lalu berlalu pergi begitu saja, namun gagal.

Siena membalik tubuh jangkung Jason dalam sekali sentak langsung kembali menyerang bibir pria itu. Tangannya mencengkram erat jaket putih yang Jason kenakan. Perlahan, didorongnya tubuh atletis pria itu hingga tersudut di dinding. Pria itu hanya mengerang pelan menyadari betapa agresifnya wanita dihadapannya ini.

"Bulan Purnama pertama di bulan Agustus. Temui aku di tempat ini tepat pukul 10 malam," ucap Jason dengan tegas saat Siena menarik kepalanya menjauh. Kulit putihnya memerah.

"Apa?! Itu terlalu lama!" Pekikan Siena langsung menusuk telinga Jason yang kini berusaha mati-matian untuk tidak memisahkan kepala wanita itu dari tubuhnya.

"Itu satu-satunya kesempatanmu untuk membicarakan bisnis denganku," tegas Jason sekali lagi. Disimpannya telunjuknya pada dahi wanita itu lalu mendorongnya kebelakang membuatnya mundur beberapa langkah.

Jason langsung berlalu pergi setelah berhasil menghentikan sebuah taksi yang lewat, meninggalkan Siena dengan dada naik turun berusaha menahan emosinya. Ia sadar, jika urusan yang sedang dihadapi oleh Jason mungkin lebih penting dan lebih mendesak. Ia menghela nafasnya sejenak sebelum melangkahkan kakinya keluar dari gang sempit itu. Kali ini ia akan menuruti kemauan pria menyebalkan itu. Jika saja pria itu tidak datang, Siena pun akan langsung terbang menuju Ontario mendatangi rumahnya dengan pistol HnK di tangannya.

Jason mengusap wajahnya kasar. Beberapa kali ia meneriakkan stok kata-kata umpatan dalam hati. Langsung dibukanya sebotol wine yang tidak jadi ia minum semalam. Tanpa piker panjang, langsung ditegaknya minuman dengan kadar alcohol cukup tinggi itu langsung dari botolnya. Supir taksi yang mengantarkannya ke bandara hanya tersenyum dan memelankan laju sedannya saat melihat kondisi penumpangnya dari spion tengah.

Setelah membayar, Jason langsung melangkah masuk kedalam bandara. Beberapa kali ia disapa oleh beberapa manusia yang mengenakan setelan formal dengan hormat. Meskipun dirinya tidak merasa mengenali mereka, ia tetap melemparkan senyuman ramah kepada manusia yang dirinya yakini salah satu kolega bisnisnya.

"Bawakan aku lima botol red-wine kelas satu dan sepuluh botol bir. Kutunggu di bandara satu jam dari sekarang," ucap Jason dengan tegas pada seseorang di sebrang sambungan teleponnya.

Jason hanya mengangkat kepalanya saat seorang pelayan menghampirinya yang baru saja duduk di salah satu meja di sebuah restaurant di dalam bandara. Setelah membaca sekilas buku menu yang ada di atas meja, Jason hanya memesan seporsi steak dan sebuah olahan kentang khas Perancis, Aligot. Tak begitu lama, seorang pelayan datang dan meletakkan dengan hati-hati pesanannya di atas meja.

Dalam sunyi, ia mulai memakan pesanannya. Matanya terfokus pada makanan yang kini ada dihadapannya. Telinganya tetap ia buka untuk menangkap suara-suara yang berdengung di sekitarnya.

Pria yang duduk seorang diri pada meja nomor 4 itu tidak menyadari apabila ada sepasang mata yang mengamatinya dengan lekat dari sisi lain restaurant. Pria dengan pakaian rapi itu langsung bangkit dan keluar dari restaurant setelah meletakkan uang dalam jumlah yang cukup banyak di atas meja disertai dengan sebuah catatan kecil. Pria yang mengunyah perlahan steaknya itu menyadari tatapan pria dengan pakaian rapi itu saat ia lewat disampingnya. Ekor matanya menangkap punggung sosok yang terbalut dalam mantel tipis berwarna coklat sesaat sebelum ia hilang ditelan kerumunan manusia yang berlalu lalang.

Jason yang baru saja menyelesaikan sarapan paginya berdiam diri sejenak. Matanya ia edarkan ke sekelilingnya, menatap sekilas sejumlah orang yang kini memakan pesanan mereka atau hanya sekedar berbincang dengan piring kosong didepannya. Merasa cukup lama ia berada di restaurant itu, langsung dipanggilnya seorang pelayan guna meminta bill pesanannya.

"Maaf tuan, bill meja anda sudah dibayar,"

Keningnya berkerut saat mengetahui ada yang sudah membayar bill miliknya. Dia tidak mengenal siapapun di Perancis secara personal. Hanya beberapa kolega bisnisnya, dan itupun mustahil mereka membayar bill miliknya di restaurant ini.

"Siapa yang membayarnya?"

"Saya tidak tahu, tuan. Dia hanya meninggalkan uang dalam jumlah yang cukup banyak dimeja dan sebuah catatan jika uang itu juga termasuk untuk billmu," jelas seorang pelayan yang menyerahkan secarik kertas dengan tulisan tangan berwarna biru.

'bayarkan sisanya untuk bill meja nomor 04 ^ ^'

The (Psyco) GodfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang