March, 2019
Bulan sabit menghiasi langit malam yang bebas dari awan. Sesekali nampak elang besi melintasi langit yang kini begitu gelap. Tidak ada satupun bintang yang nampak bersinar di atas sana. Hanya beberapa titik yang memancarkan cahaya secara redup yang tak lain merupakan satelit-satelit buatan manusia yang kini bergerak mengorbit bumi di ketinggian.
Suasana di jalanan masih cukup ramai, terutama pub malam yang kini dipenuhi oleh beragam manusia. Jalanan pun masih ramai akan kendaraan maupun manusia yang berlalu lalang. Beberapa bagungan yang masih buka dan ramai di saat matahari memasuki jam kerjanya pula kini begitu sepi, termasuk sebuah rumah sakit elite yang berada di jantung kota Boston.
Lorong rumah sakit itu begitu sunyi hingga suara derap langkah tergesa seorang dokter muda dengan jas putihnya yang tergesa menggema hingga ke sisi lain lorong. Jika bukan karena kebosanan hebat yang melandanya sejak pagi, tak mungkin ia sudi melangkahkan kaki ke rumah sakitnya pada pukul 2 dini hari seperti saat ini. Dengan langkah capat ia berjalan menuju ruang bedah khusus yang berada di ujung lorong yang kini ia lintasi.
Beberapa perawat dan dokter bedah kini mengelilingi sebuah ranjang operasi. Mereka langsung menoleh kepada pria yang baru datang itu. Helaan napas lega keluar dari mulut mereka yang mengetahui dokter itu berkenan untuk datang sebab pasien yang kini mereka tangani berada pada ambang kematian akibat pendarahan dan kerusakan pada saraf tulang belakang dan cerebralnya. Pasien yang tekanan otaknya terus menurun itu sangat beruntung dapat selamat dari besi yang menancap pada tengkoraknya serta baja konstruksi yang nyaris menghancurkan tulang belakangnya pada kecelakaan kerja yang terjadi kurang dari sejam sebelumnya.
"Dokter Peterson," lirih seorang perawat wanita memakaikan pakaian steril berwarna hijau pada pria itu. Pria itu sendiri sibuk memakai sarung tangan karet steril dan langsung mengambil alih bagian tulang belakang itu, alasan mengapa ia ditelpon pagi-pagi buta oleh asisten bedahnya. Ya, dokter muda pemilik rumah sakit itu adalah Kevin.
"Jangan sampai pendarahan di otaknya meluas. Pastikan arah pencabutannya tegak lurus," ucap Kevin yang berbinar menatap besi sepanjang 20 cm menancap menembus tulang tengkorak, dari kening datarnya hingga ke kepala belakangnya.
Kevin yang barusaja memakai masker birunya langsung membuat sebuah sayatan sepanjang 40 cm pada tulang belakang pria yang kini kritis tanpa ragu. Sebuah senyuman lebar tersungging di bibirnya yang tertutupi masker saat melihat keadaan ruas tulang belakang yang jauh dari kata baik itu. Hanya dari melihatnya, Kevin tahu jika ada sedikit saja kesalahan pada tindakannya, nyawa pria itu yang jadi taruhannya. Kini, ia bergairah dan merasa tertantang atas kondisi yang kini ia amati.
"Patricia, tolong kau pergi ke ruanganku, ambilkan aku botol kaca kecil di rak kaca belakang mejaku. Ambil yang berlabel Diamondevils," ucap Kevin tanpa mengalihkan perhatiannya dari apa yang kini ia lakukan.
Wanita yang juga mengenakan pakaian serba steril yang sedari tadi fokus mengamati perkembangan keadaan pasien dari balik layar langsung berlari keluar menuju ruang kerja Kevin yang berada di lantai 4 gedung rumah sakit itu. Kevin sendiri langsung mengambil tindakan laminektomi pada ruas vertebra ruas L2-L4 yang mengalami fraktur dislokasi untuk mengurangi tekanan yang terjadi pada saraf luminal. Dengan cepat ia langsung melakukan tahapan-tahapan dari procedural medis selanjutnya dengan cepat dan sempurna.
Bau anyir yang bercampur dengan aroma alcohol serta sejumlah zat kimia mengisi ruangan luas serba putih itu. Keringat tampak menuruni pelipis para dokter spesialis yang kini memasang focus tinggi pada pasiennya. Jam terbang yang telah menyentuh angka ratusan hingga ribuan membuat mereka terbiasa berhadapan dengan kondisi antara hidup dan mati seperti ini. Sarung tangan maupun peralatan serba silver yang mereka gunakan kini penuh akan bercak darah.
"William, siapkan balon untuk penyemenan. Anna, kau ambil alih penyemenan di ruas L3. Aku sudah selesai disana," ucap Kevin dengan tegas sementara dirinya sendiri menangani ruas terakhir yang mengalami kerusakan lebih hebat, ruas S2. Keduanya langsung berjalan mendekati Kevin setelah mereka selesai dengan tugas mereka di bagian otak.
Sebuah gunting bedah dengan cepat memotong otot-otot dan ligamen yang justru memperparah cedera yang ada. Sebuah jarum berongga kecil langsung ditusukkan menembus sebuah celah kecil yang ada di ruas tulang belakang guna menyedot gel yang mengisi rongga tulang. Sebuah struktur lembek berwarna kemerahan kini mengisi tabung output dari jarum yang menyedot dengan lembut gel-gel salah tempat itu. Dengan hati-hati, diarahkannya sebuah gunting khusus untuk mengambil sekaligus membersihkan serpihan tulang yang mengotori jalur lintasannya. Darah yang terus mengalir keluar tidak menjadi penghalang bagi Kevin yang sudah paham betul akan lokasi dan kondisi vertebra yang seharusnya.
"David, peralatan stabilisasi untuk 40 cm," Kevin masih fokus pada kerja tangannya membersihkan area yang hancur itu.
"Dokter, ini yang anda minta," Wanita yang tadi Kevin minta untuk mengambil botol yang berisi zat kimia khusus kembali membawa apa yang dokter itu minta.
Mata Kevin memicing memastikan jika botol bening kecil itu adaah botol yang ia minta. Ia mengangguk. Dengan sebuah isyarat disuruhnya wanita itu memberikan botol bening itu kepada asistennya yang tadi menggantikan posisi wanita itu di balik layar.
"Ken, encerkan 1 mg cairan dalam botol itu dengan 10 Liter air suling. Lalu ambil 1 ml dan suntikkan ke bagian biasanya," ucap Kevin kepada dokter anestesi muda kepercayaannya.
Ken mengangguk mengerti dan segera melakukan seperti yang diperintahkan atasannya. Dengan langkah panjangnya ia tergesa keluar dari ruangan. Dan kembali tak begitu lama setelahnya dengan sebuah suntikan kecil ditangannya. Meskipun penasaran, dokter lain tetap bungkam dan terus melanjutkan kerja mereka. Kondisi pasien yang kembali tidak stabil membuat jantung dokter-dokter itu berdegup gelisah. Atmosfer yang sebelumnya cukup kondusif kini penuh akan ketegangan.
Kondisi pasien menurun drastis setelah disuntik dengan cairan yang diberikan Kevin. Kepanikan langsung melanda seluruh tim yang ada di ruangan itu, terkecuali Kevin dan Ken yang masih tenang dan tetap melanjutkan tugas mereka masing-masing. Ken yang memilih kembali mengamati keadaan pasien dari balik layar bersama Patricia dan Kevin yang kini berkutat dengan pemasangan pen dan sekrup setelah tugasnya membenarkan vertebra bonekanya dengan mengambil langka penyemenan.
"Dia akan kembali stabil satu jam kedepan. Pastikan tugas kalian di kepalanya sudah selesai dalam 45 menit," ucap Kevin yang mulai jegah akan kepanikan yang dialami rekannya.
Zat yang ada di dalam botol kaca 175ml itu sesungguhnya adalah salah satu jenis racun paling mematikan yang pernah ada. Namun, berkat kejeniusannya untuk menutup sisi berbahaya racun itu, kini zat yang dinamainya Diamondevils itu justru membantunya dalam sejumlah operasi. Diamondevils bekerja dengan menyumbat saluran sodium tubuh dan melemakhan kerja saraf dan jantung seakan-akan pasiennya sekarat. Padahal tidak. Racun itu hanya dapat bertahan dalam satu jam, sebelum akhirnya terurai dan hancur dengan sendirinya.
Ketegangan yang tadi sempat terasa begitu nyata kini perlahan menghilang seiring dengandilewatinya fase-fase tersulit rangkaian operasi besar itu. Kondisi pasien yang kembali stabil membuat dokter yang tadi sempat panic kini kembali tenang. Sudah hampir 4 jam mereka berkutat di ruang bedah khusus itu.
"Dokter Peterson, ada telepon untukmu. Dari Kakakmu, di meja administrasi" ucap seorang perawat yang baru saja masuk kedalam ruang bedah itu.
Pergerakan tangan Kevin yang sedang memasang sekrup di ruas vertebra langsung berhenti. Sorot matanya menatap pintu yang mana baru dilewati perawat itu untuk kembali keluar. Keningnya berkerut samar saat ia mengetahui kakaknya menelponnya di pagi buta seperti ini.
"David, selesaikan," dokter berkulit tanning itu langsung menggantikan posisi Kevin yang langsung berjalan keluar menuju meda Administrasi yang berada tak begitu jauh dari ruang bedahnya.
Perawat itu tetap berjalan lurus dan menghilang di ujung lorong meninggalkan Kevin yang kini berhenti di meja Administrasi setelah pamit keppada bosnya. Beberapa wanita disana tersenyum ramah dan dibalas ramah pula oleh Kevin sebelum ia meletakkan gagang telepon itu di telinga kanannya. Untungnya, sebelum Kevin keluar dari ruang bedah, ia menyempatkkan diri melepaskan seluruh perlengkapan serba steril yang ia pakai.
"Ya, ada apa?" ucap Kevin yang kini menyangga dagunya dengan tangan kirinya yang bertumpu pada meja administrasi.
"Bagaimana perkembangan tugasmu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The (Psyco) Godfather
RastgeleJangan mencari masalah denganku. Jika tidak aku yang akan datang membantaimu dengan tanganku sendiri - Alexandro Alvaro