Twenty Five

1.3K 111 2
                                    

.
.
.
~HARAPAN~

"Tunggu..." Kate menatap horor Kaizel. "mengotori tanganku? Kita gak bakal jadi perenggut nyawa kan?"

Kaizel melirik Kate sekilas lalu mendecakkan lidahnya. "Apapun yang kau pikirkan saat ini, singkirkan." Ujarnya.

"A-apa?! Memangnya kau tau apa yang kupikirkan?"

"Gak."

"Kok sebel ya?"

"Kate, ambil senjata yang kau perlukan. Aku akan menghubungi mereka. Siaga 2."

Kate menatap Kaizel dengan kesan agak meremehkan. "Separah itu?"

"Tidak, tapi se'menyebalkan' itu."

"Kau ini ngomong apa sih?" Gumam Kate tanpa mempedulikan Kaizel lagi.

Kate mengambil pistol dan menempatkannya di saku. Kali ini ia bersedia mengambil resiko untuk peluru jenis gun. Selebihnya hanya pisau lipat yang sudah sedari tadi disimpannya.

Jangan lupakan kemampuannya dengan alam. Tapi mungkin kali ini ia akan lebih tertutup saat menggunakan tiap elemennya. Ini di sekolah lamanya, banyak yang mengenalnya jangan sampai ada yang mengetahui kedekatannya dengan alam itu. Ada banyak kemungkinan ia akan dimanfaatkan orang di luar sana dan Kate takkan membiarkannya.

"Kalau sudah, simpan tasmu di loker." Kata--ralat, perintah Kaizel dengan seenak jidatnya tanpa ba-bi-bu pada Kate.

Kate memutar kedua bola matanya malas. "Untung cinta--tungguu?........Apaa?!!!!!" 

Dengan wajah memerah, Kate memasukkan tasnya dengan cepat ke dalam lokernya. Saat hendak bertukar pandang dengan Kaizel, dengan cepat ia memalingkan wajahnya dengan kesal.

" Am I...really fall in love with him? Apa yang akan aku lakukan kalau seperti itu benar adanya?" Kate melirik Kaizel diam-diam lalu menghela nafas.

"Ada apa?"

Kate berjengit dan memalingkan wajahnya sekali lagi. "Nggak, k-kok." Lirihnya.

Kaizel pun tak ingin larut dalam rasa penasarannya. Ia yakin bahwa sebenarnya ada yang ingin dikatakan gadis itu padanya. "Kalau mau mengatakan sesuatu, katakan saja. Daripada kau keburu tua dan tak mengatakannya sama sekali. Dan menjadi perawan tua?" Gumam Kaizel hampir tertawa di akhir kalimatnya.

Kate langsung menoleh dan menatap tajam pria itu. "Siapa yang mau?!"

Kaizel akhirnya terkekeh pelan. "Kau. Akhirnya kau mau menatapku. Kan dulu sudah kubilang, kalau kau itu menyukaiku. Kenapa nggak mau jujur saja sih?"

"Ini cowok ternyata kalo ngomong gak pernah difilter." Batin Kate menatap datar Kaizel dengan senyum santainya.

Tak mendapat jawaban dari Kate, Kaizel tersenyum lebih tipis dan kalem daripada biasanya diberikannya ke arah Kate. "Oke, aku menyerah. Ayo kita ke lapangan sekolah. Ada yang harus kita kerjakan sebelum membahas hal ini." Kata Kaizel sambil menepuk pucuk kepala Kate.

Ia mengelusnya pelan. "Jangan kau pikir bisa kabur lagi dari perasaanmu, hm..." Gumam Kaizel terkekeh pelan sebelum berjalan mendahului Kate.

Saat Kaizel menghilang dibalik tembok koridor, Kate ambruk seketika. "Sial, dia pintar memainkan suasana..." Batin Kate sambil memegang dada kirinya dimana tempat sensasi sesak dan bergemuruh dengan tempo cepat dirasakannya. Wajahnya memanas.

"Uughh...rasanya, aku lemas sekali..."

***

Rei menajamkan indera penciuman dan pendengarannya. "Tidak salah lagi, orang-orang ini bukan mereka."

"Kan, apa kubilang." Gumam Rei pada dirinya sendiri saat melihat empat orang dengan senjata api di tangan orang-orang itu dan pedang yang di selipkan di sarung pedangnya.

Teringat akan sesuatu, Rei langsung menatap tajam dan meneliti orang-orang tersebut. "Jangan katakan, mereka bawahan Mr. Preevant?!"

***

"Kita dapat pesan dari kepala sekolah." Lapor Kelvin saat melihat P-Pad nya.

"Apa katanya?" Tanya Kaizel dingin tak ingin berbasa basi.

"Kali ini kita harus membersihkannya. Mengorbankan nyawa manusia pun tak apa."

"Itu gila! Kak, walaupun mereka itu musuh tetap saja mereka itu punya nyawa berharga kak! Lagipula ini di sekolah, gila apa?!." Kate menatap tajam kakaknya.

"Kate saat ini warga sekolah yang jadi taruhannya. Kalau mendesak mau tak mau kita harus jadi pembunuh. Lebih baik mengorbankan kesucian diri sendiri ketimbang harus berdiam diri tanpa perlawanan melihat mereka mati." Jelas Kelvin mempersiapkan senjatanya.

"Ini gila. Tapi kalau kau sudah mengatakan itu apa boleh buat?" Kate mengikuti apa yang dilakukan kakaknya dengan gusar.

"Bukannya sejak dulu kau sudah gila?" Tanya Kelvin terkekeh.

"Kau lebih."

"Jadi apa rencananya?" Tanya Mirrae dengan gugup. Ini pengalaman paling berat seumur hidupnya ketika menjalankan misi. Misi terberat yang dulu ia alami pun tak seberat ini.

"Kalau saja di tempat ini kita bisa menggunakan elemen alam, ini akan semakin mudah." Gumam Nathan.

"Kalau aku bisa pun, aku yakin sebelum mereka menapakkan kaki di gerbang sekolah ini, mereka sudah mati." Datar Kaizel seraya memperhatikan tanah.

"Sombong sekali kau?" Canda Nathan.

Kate menghela nafas. "Yang benar saja kalian. Aku tak habis pikir kenapa kalian bisa sesantai ini bahkan sempat-sempatnya bercanda dalam situasi genting." Kate tersenyim miring mendengar percakapan ringan mereka.

"Aku juga berpikiran sama." Tambah Mirrae.

"Sudahlah, kita lihat dulu apa yang mau mereka lakukan." Kelvin menengahi komentar-komentar yang memasuki indera pendengarannya.

"Kaizel, mungkin sebentar lagi kau akan reuni keluarga." Kelvin melebarkan senyumannya sambil mengedipkan satu matanya.

Kaizel menatap Kelvin geli. "Apa-apaan ekspresi itu?!"

"Aku tidak tau kapan ini akan berakhir. Semuanya seperti benang kusut." Gumam Mirrae.

"Maka itu kita yang akan meluruskannya." Ringis Kate menepuk punggung Mirrae.

"Hmm, iyaa...semoga ini terakhir kalinya."

•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•

MY ELEMENTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang