Twenty Two

1.4K 137 1
                                    

.
.
.
~COFFEE~

"A-apaan, sih?" Cicit Kate menghindari tatapan Kaizel.

Kaizel menyeringai, penuh kemenangan. "Eh, kau mulai mencoba berbohong?"

"T-tentu saja t-tidak."

Kaizel menepuk puncak kepala Kate. Tanpa dihitung lebih dari 2 detik wajah Kate memerah bak kepiting yang habis direbus.

"Mulutmu bisa berbohong, tapi wajahmu tak akan bisa membohongiku." Datar Kaizel sembari tersenyum kecil.

Dan bisa dibayangkan wajah Kate yang memerah sampai di telinganya. "Dasar. Kau mau aku menggandengmu dulu hingga kau jalan?" Tanya Kaizel dengan ekspresi maupun intonasi nada suaranya yang datar.

Dengan wajah yang masih memerah, Kate berjalan dengan cepat mendahului Kenzo. "T-tak perlu! Aku bisa sendiri."

Kaizel mendecih kemudian tersenyum kecil. "Dasar jual mahal."

***

"Oooh, aku tak menyangka 'dia' sudah tumbuh menjadi pria manis dan menggemaskan dengan bumbu cinta romansa di masa remaja~" Gumam seseorang yang dihalangi tembok ujung koridor.

"Siapa yang kau maksud?" Datar seorang lagi di sebelahnya.

"Cih, kau ini spesies beruang kutub macam 'dia' juga ya? Tapi~kau versi perempuannya. Ah, aku tak bisa membayangkan kalau kalian bersama--huuh, aku tak akan mau diantara kalian."

"Berisik."

"Yaa, aku memang begitu kan?"

"Seriuslah untuk kali ini Rei. Kau bukan seperti yang biasanya." Tegur perempuan itu.

"Kalau kau dan 'dia' beruang kutub, dan aku juga beruang kutub, keluarga kita akan terkenal dengan spesies beruang kutub. Yah, setidaknya aku jadi pemanasnya." Datar orang itu mulai berjalan mengikuti Kaizel dan Kate dari kejauhan.

"Aa~" Balas sang gadis memutar bola matanya.

"Hei, dan kau adik kecil!" Pria itu menggeplak kepala gadis itu.

"Sakit."

"Aku ini kakakmu. Setidaknya sopanlah sedikit! Dan apa-apaan itu kata 'sakit' tanpa ekspresi dan notasi yang datar.

"Masih beruntung aku mau ikut denganmu setelah kalian berdua meninggalkanku. Huft, aku masih bisa memaklumi Kak Kai yang pergi dengan alasan. Lah orang di sebelahku ini?" Ucapannya yang datar sangatlah tidak sesuai dengan isi ucapannya dan membuat pria di samping gadis itu kesal.

"Ck, iya-iya! Kan aku sudah minta maaf. Lagipula ada suatu alasan untukku pergi namun tak bisa aku katakan."

Gadis itu hanya menoleh. "Dan apa-apaan lagi itu?! Damn, Kai mendapatkan panggilan kakak dan aku tidak?"

"Hn, kau pantas untuk itu."

"Dasar adik durhaka." Gumamnya.

"Kau apa? Muka dua?"

"Iya terserah kau. Aku memang pantas."

"Kalau sadar diamlah."

"Ck, kau sudah berbeda."

"Kau pun sama."

"Hentikan."

***

Deg.

Kaizel menengok ke belakang. Memegang dada bagian kiri tepat di permukaan jantungnya berada.

"Perasaan apa ini?" Kaizel mencoba menengok ke kanan maupun kiri.

"Perasaan ini tidak asing. Ck, entahlah. Mungkin aku salah."

"Ada apa?" Tanya Kate.

"Hn."

"Menyebalkan." Gumam Kate.

***

Di kelas dimana hanya terdapat Kelvin, Nathan, dan Mirrae dengan beberapa foto berserakan di meja.

"Data informasi?" Tanya Kelvin.

"Val Ryo Miyaichi, Hendra La Vaun, Ba'al Dy Gros, apa-apaan nama-nama ini? Mereka orang asing?" Tanya Nathan.

"Aku kan tanya informasinya padamu. Kenapa kau malah balik bertanya?" Ucap Kelvin gusar.

"Dan kecilkan suaramu." Lanjutnya.

"Iya-iya maaf."

"Emm, kalian. Aku merasa tidak asing dengan dua nama ini." Ucap Mirrae.

"...tidak mungkin!"

"Apa yang tidak mungkin?" Tanya Kate yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu.

"Dimana Kenzo?" Tanya Kelvin.

"Lagi ke toilet. Aa, kakak masih belum tau nama aslinya ya?" Tanya Kate.

"Nama asli?"

Kate mengangguk. "Nama aslinya Leozark Kaizel Hiraishi. Panggil Kaizel katanya." Ucap Kate mengedikkan bahunya.

"Leozark Kaizel Hiraishi, Reizark Kenzo Hiraishi, dan Leunark Kyla Hiraishi. Mereka bersaudara?" Tanya Kelvin.

"B-bagaimana kakak tau?"

"Persamaan nama dan marga mereka. Dan yah, tadi ada murid peserta pelajar. Aku rasa dia yang bernama Reizark Kenzo Hiraishi." Ucap Kelvin.

"Siapa?" Tanya seseorang dengan suara terdengar dingin di telinga dan sangat datar. Suaranya bahkan terdengar sangat rendah.

"Kakakmu." Kata Kelvin menunjuk Kaizel dengan telunjuknya.

***

"Kakak? Bukannya di hidupku sudah tidak ada kata kakak lagi? Mengapa hidup itu kadang pahit, kadang manis, dan kadang tawar. Seketika aku berpikir, hidup itu seperti sebuah kopi."

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Kate menepuk pundak Kaizel.

Rambut Kaizel dibelai angin perlahan. Saat ini di rooftop tempat dimana ia bisa menenangkan diri.

"Tidak."

"Kai?"

Kaizel melirik Kate. "Kenapa kau panggil aku seperti itu?" Datar Kaizel.

"Tidak, hanya saja itu nama panggilanmu dulu bukan?"

"Aku tak peduli, jangan panggil aku dengan nama itu. Dia sudah mati."

Kate tertegun sesaat. "Lalu, siapa dirimu?" Tanya Kate.

"Aku sendiri tidak tau." Datar Kaizel menatap langit dengan tatapan datar.

Kate kembali menepuk pundak Kaizel namun kali ini tangannya tetap bertengger di bahu kekar pria itu.

"Mungkin cobalah kenali dirimu dan apa maumu. Setelah itu jangan tanyakan siapa dirimu. Yang paling mengenal dirimu di dunia ini hanyalah kau sendiri. Apa yang hatimu inginkan hanya kau seorang yang tau."

"Bagaimana kalau aku tak punya suatu keinginan?"

Kate menghela nafas kecil sembari tersenyum. "Kau punya. Tapi kau belum menyadarinya." Ucap Kate menepuk dua kali pipi Kaizel dengan tangannya.

Kate berbalik dan meninggalkan Kaizel dengan pikirannya sendiri. Sementara Kaizel memegang pipi yang tadinya ditepuk beberapa kali oleh Kate.

Lalu pipinya terasa panas. Telapak tangan pria itu kemudian menutupi setengah wajahnya agar tak terlihat semburat tipis di kedua sisi pipinya.

Kaizel tersenyum lembut. "Ya, itu benar. Aku belum mengetahuinya. Tapi, aku yakin dalam keinginanku itu salah satunya...melindungi dia."

•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•^•

A/n:

Semoga, bukan ini doang part yang bisa aku update di waktu luangku yaah🤗

MY ELEMENTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang