Vania membuka pintu rumahnya kemudian disambut dengan sapaan ayahnya yang cukup mengagetkan dirinya.
"Tumben baru pulang?" ucap ayah Vania tanpa menoleh. Pria berkaca mata itu menatap fokus pada seorang wanita yang sedang menyiarkan berita harian di televisi ditemani secangkir teh hangat dihadapannya. Saat itu ruang tamu hanya memancarkan cahaya dari televisi dan cahaya lampu dari teras depan rumah.
Usai menutup pintu, Vania melangkah pelan ke arah sofa berwarna dark chocolate tempat ayahnya melepas penat seusai bekerja. Ia duduk dan menyenderkan kepalanya di sofa empuk itu.
"Emang ngga boleh pulang jam segini? Ini kan baru jam sembilan, ngga mungkin kan aku pulang tengah malem?" Vania menatap jam berwarna putih yang melingkar di tangan kanannya.
Pria itu menghela napas berat. "Kamu make jam swasta yak?, liat noh jam berapa?" ucap ayahnya sambil menunjuk kearah jam dinding dekat tangga dengan dagunya.
Yak. Dan benar saja ayahnya hampir marah. Sekarang hampir pukul jam sebelas malam. Vania memaki jam tangan putih ditangan kanannya dalam hati. Ia juga mengumpat karna jamnya mati diwaktu yang tidak tepat.
Vania menunjukan deretan giginya yang rapih pada lelaki setengah paruh baya disampingnya. "Ya maap.. Jam aku kan mati, jadi ngga tau. Lagian kak Kania sering pulang jam 12 tapi papa ngga marah? lah aku baru satu kali pulang lewat jam 10 papa udah kek cewe pms aja."
"Kakak kamu kan udah gede."
"Lah emangnya aku masih jadi embrio?"
Ucapan Vania mendapat tatapan tajam dari ayahnya. "Ng
aco ah kamu!"Usai percakapan absurd antara ayah dan anak, Vania mengambil bantal sofa kemudian meletakan diatas paha kelak disampingnya itu. Ia melepas tas kecil yang sedari tadi tidak pernah ia lepas dan meletakannya di atas meja. Kemudian Vania menidurkan kepalanya di atas bantal sofa yang diletakan di atas paha ayahnya. Ia merenggangkan sedikit tubuhnya, kakinya ia letakan di bahu sofa.
"Pah, papah pernah ditinggal seseorang yang berharga ngga?"
"Pernah, kakek kamu." kemudian menyeruput teh hangat yang disediakan di atas meja.
"Selain kakek?"
Lelaki berkaca mata itu meletakan cangkir tehnya di atas meja. Kemudian mengelus halus rambut Vania. "Pernah nya, papah yang ninggalin, Itu juga mama kamu.. Kalaupun papah yang ditinggalin sama orang yang paling berharga, selagi papah bisa bertahan dan dia juga bisa bertahan dengan keadaan yang sama sama jauh, ya papa fine."
Vania tertegun menatap rahang kokoh papanya itu dari bawah. Diusianya yang sudah memasuki kepala empat, ia masih saja tetap seperti anak muda pada umumnya.
"Emang kenapa kamu nanya kayak gitu? Dhevan? Atau Fery?" ayahnya tersenyum jahil.
Muka Vania memerah. "Enggak!"
Lelaki itu tersenyum tipis. "Jangan bohong, gini gini papa pernah muda. Papa tau rasanya ditinggal pas lagi sayang sayangnya. Papa pernah kali ngerasain kaya kamu."
Muka Vania kembali bersemu merah. "Ihh, papa topiknya jadi kemana mana.. Udah, aku mau tidur." Vania bangkit dari tidurnya. Ia mengambil tasnya dan berjalan ke arah kamarnya.
Ayah Vania tersenyum hangat. "Dasar anak muda."
Vania membuka knop pintu kamarnya, ia melangkahkan kakinya gontai memasuki kamar. Tas kecilnya ia lemparkan keatas sofa dan tubuhnya ia hempas ke atas kasur empuk miliknya.
Setelah itu ia mengambil handphonenya didalam tas kecil warna biru miliknya. Ia mencari satu kontak dan menelpon nomor yang ia tuju.
"Ahh ilahh.. Si kunyuk kagak aktif lagi.." kemudian ia melemparkan handphonenya ke penjuru arah. Bodohnya handphone berwarna hitam itu terpelanting ke lantai kamarnya. Vania pun segera mengambil benda berharga yang sempat ia banting.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gagal moveon
Novela Juvenil[Rank] #5 in moveon [15 Mei 2018] kenapa kamu dateng lagi? Kamu gak ngerasain sakitnya hati aku saat kamu datang lagi. Aku gak bisa pindah ke lain hati disaat sayapku telah patah karenamu. Aku juga ingin bahagia. Tapi kenapa kamu dateng lagi. Aku be...