| RavAges, #32 | 2974 words |
AKU MENDENGAR Seli sesekali, bertanya dengan gemetar apakah aku ingin buang air atau tidak. Sepertinya dia cari teman. Sudah dua kali minggu itu ada Sepatu Bot yang memarahinya karena mengompol dalam kurungan.
Meski aku tak menjawab, Seli tetap bicara. Bukannya tak mau menjawab, tetapi belakangan, aku seolah lupa cara menyuarakan kata-kata—saat aku berusaha mengeluarkannya, tidak ada seorang pun yang tampaknya mendengar.
Bahkan saat Mama mengucapkan ulang tahun yang ke-10 untukku minggu lalu, aku tidak bisa bertanya dia tahu dari mana. Sejak itu juga, dia tidak pernah datang lagi ke ruangan kami.
"Erion ..." bisik Seli setelah empat Sepatu Bot menjauh. "Kau lapar, nggak?"
Gara-gara dia bertanya, perutku jadi berbunyi. Kami belum makan karena tadi pagi melancarkan aksi merajuk besar-besaran—tidak ada yang mau makan kalau tidak diberi daging ayam. Sudah bertahun tidak ada daging lagi. Jatah air minum kami juga dikurangi. Orang-orang bersepatu bot sudah bilang tidak ada kiriman lagi dari pusat, tetapi tidak ada yang mengerti dan peduli. Jadi, kami mogok makan.
Sebenarnya, aku hanya ikut-ikutan. Yang lebih dulu mengambek minta ayam adalah anak gendut besar—kami memanggilnya Brutus karena dia mirip musuhnya Popeye .... Sebenarnya, aku yang memulai panggilan itu. Aku ingat Brutus dan Popeye dari salah satu kartun yang dulu diputar Ayah agar aku berhenti menangis. Anak lain yang tidak tahu apa itu Brutus ikut-ikutan memanggilnya Brutus. Brutus sendiri tidak tahu apa itu Brutus, jadi dia oke saja.
"Aku lapar ..." desah Seli. "Lapar sekali ...."
Bunyi keriut pintu terbuka membuat Seli kaget. Aku juga kaget. Biasanya bunyi keras tapak kaki bakal terdengar mendekat dulu kalau ada Sepatu Bot, tetapi yang ini tidak. Tahu-tahu pintu terbuka saja. Seli pun tersedu-sedu, "Maaf ... laparnya nggak jadi .... Maafkan aku ...."
Namun, yang datang bukan Sepatu Bot. Cahayalorong menyoroti enam kaki—Sepatu Kotor Bertali, Sepatu Kotor Tidak Bertali,dan Kaki Sungguhan. Kuputar roda di alat telingaku, lalu suara Brutus terdengarjelas, "—yang ini, Om."
"Jangan panggil om, sudah dibilang berapa kali!" sahut suara lain.
"Burut ..." panggil Seli dengan suara serak. Hidungku mekar karena menahan tawa. Burut itu penyakit yang kalau isi perut turun sampai bawah—Ayah bilang, turun berok atau hernia. Entah siapa yang pernah kena burut, pokoknya Ayah pernah bilang begitu. Seli tidak tahu apa itu Burut. Kadang, dia memanggil Brutus dengan 'Berutus' atau 'Burutus'. Kadang cuma Burut.
Aku memicingkan mata dan menyadari kalau kaki yang telanjang itu montok-montok jarinya—kaki Brutus. Padahal, seharusnya dia masih dihukum karena memulai pertengkaran saat sarapan.
"Buat apa kita melepas Arka di ruangan-ruangan ini?" tanya seseorang. Aku tidak tahu suara itu punya sepatu yang mana. Aku cuma bisa mengintip sampai lutut mereka dari celah kawat. "Kita tidak punya waktu menyelamatkan siapa-siapa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RavAges
Fiksi Ilmiah[Completed Chapter] Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta alasan ayahnya yang terus mendesak mereka untuk terus bergerak sebagai keluarga nomaden. ---***--- Leila, 17 tahun, ter...