Part 3 : Lamaran.

7.8K 723 22
                                    


°
°
°



“Mah, Rein mau menikah muda.” Ucapan spontan seorang gadis itu membuat sang papa yang sedang makan langsung tersedak, sang papa buru-buru menenggak jus jeruk di depannya. Sedangkan sang mama tampak terkejut dengan ucapan anaknya itu.

“Sayang, maksud kamu apa?” tanya sang mama pelan.

“Rein mau menikah, Ma.”

“Rein! Kamu masih kecil nak!” tegur papanya.

“Rein udah 19 tahun, dan Rein mau hidup mandiri.” Gadis itu Brilliant Ivena Rein, seorang gadis yang keras kepala dan selalu mendapat apa yang dia inginkan. Selama ini kedua orang tuanya cenderung memanjakannya dan selalu menyanggupi keinginan gadis itu. Tapi, menikah di usia muda rasanya terlalu beresiko. Itu yang membuat papa dan mamanya tidak langsung menyetujui keinginan gadis itu.

“Kamu mau menikah sama siapa nak? Kamu belum selesai kuliah lho, nggak nunggu selesai kuliah dulu?” Mamanya berucap lemah lembut, berusaha membujuk anaknya.

“Rein bisa tetap melanjutkan kuliah setelah menikah ma,” ucap gadis itu tak mau kalah.

Papa nya berdehem, membuat baik Rein dan sang mama menoleh kompak. “Akan papa setujui, tapi kasih alasan kenapa kamu mau menikah muda. Kamu tau Rein, papa dan mama hanya takut pada akhirnya pernikahan kamu dan siapa pun itu akan berakhir di tengah jalan karena kamu masih terlalu kecil untuk menikah. Kalau alasan kamu hanya karena iri melihat teman-temanmu atau artis menikah muda, papa nggak akan kasih izin.”

“Rein Cuma mau menjadi pribadi yang lebih baik, selama ini Rein selalu berusaha keras dalam karir dan pendidikan. Tapi Rein akhirnya sadar, Rein bukan apa-apa kalo Rein nggak tau tentang agama sama sekali pah. Selama sembilan belas tahun Rein hidup, Rein nggak tau apa-apa tentang agama yang Rein anut. Di KTP agama Rein islam, tapi Rein nggak tau apapun tentang islam. Rein sholat dua kali setahun, Rein bahkan nggak tau gimana caranya wudhu yang benar, Rein nggak tau gimana caranya baca Al-Quran. Rein nggak tau apa-apa tentang islam pah, dan Rein ingin tau. Rein suka sama seseorang, dan Rein rasa dia bisa mengajari Rein dalam islam. Tapi Rein nggak bisa berteman dekat sama dia, Rein juga nggak bisa minta tolong dia buat ngajarin Rein. Karena itu, Rein mau menikah sama dia.”

Papa dan mamanya langsung membisu. Itu benar, mereka mendidik Rein sejak kecil untuk segala hal bahkan seni tapi tidak untuk agama. Mereka seperti ditampar, bagaimana Rein yang sembilan belas tahun akhirnya menyadari hal itu sedangkan mereka berdua yang sudah puluhan tahun lebih tua bahkan tidak mengingat itu sama sekali.

Sang papa sempat bertatapan dengan sang mama sebelum menggeser piringnya yang masih berisi makanan ke depan. Sang papa kehilangan napsu makannya. Lalu dia beralih menatap putri semata wayangnya itu.

“Rein, papa kasih izin kamu menikah.”

“Bener pah?” tanya Rein semangat.

Papanya mengangguk yakin disertai sebuah senyum penuh wibawanya. “Papa juga mau belajar agama,” tambah papanya membuat Rein ikut tersenyum.

“Jadi ayo kita lamar orang yang Rein suka pah!”

Papa dan mamanya terdiam dengan kerutan dalam di kening mereka.

“Ayo pah!” ajak Rein sudah berdiri dari tempat duduknya.

“Sayang, dimana-mana lamaran itu yang ngelamar laki-laki nak bukan perempuan,” ucap mamanya lembut.

Rein menggeleng cepat. “Kalo nunggu dilamar sampai lebaran monyet Rein nggak akan jadi nikah mah. Jaman sekarang kan biasa cewek maju duluan.”

Mamanya meringis. “Kamu nggak malu Rein?”

“Kenapa harus malu mah? Rein yakin dia pasti terima Rein kok.”

Dan yang bisa papa dan mamanya lakukan hanya mengikuti keinginan Rein. Malam itu juga Rein dan kedua orang tuanya berangkat ke rumah Rayan untuk melamar Rayan.

***

Rayan terperangah saat membuka pintu rumahnya, di depannya berdiri Rein dan pasangan paruh baya di belakangnya. Rayan langsung bertanya-tanya darimana Rein tau rumahnya, dan apa yang dia inginkan bertamu semalam ini ke rumahnya. Ini bukan jam tujuh tapi sudah hampir jam sebelas malam, itulah kenapa Rayan begitu heran. Dia baru saja pulang, dan baru selesai mandi saat mendengar suara ketukan pintu.

“Hai yan!” seru Rein dengan intonasi yang cukup membuat Rayan tersentak kaget.

“Hai, oh silakan masuk.” Rayan pada akhirnya mempersilakan Rein dan pasangan paruh baya itu masuk. Setelah mempersilakan duduk di ruang tamu, Rayan langsung mencari kedua orang tuanya. Saat melewati kamar adiknya, kebetulan sang adik keluar dari sana.

“Siapa kak? Tadi denger kaya ada suara mobil berhenti di depan. Ada tamunya ayah?” dia adalah adik Rayan yang sekarang duduk di kelas dua SMA, namanya Dwina Salma Asih.

“Iya ada tamu, ayah dimana Ma?”

“Oh, ayah masih nonton tv sama bunda.”

Rayan buru-buru ke ruang keluarga, benar saja di sana masih ada ayah dan bundanya yang menonton tv. Di karpet ada juga adiknya yang masih SD tampak sudah lelap dalam tidurnya.

“Yah,” panggil Rayan pelan. Ayah dan bundanya kompak menoleh ke arahnya. Rayan menunjuk ruang tamu dengan isyarat tangannya.

“Ada apa?” tanya ayahnya sembari bangkit dari duduknya. Bundanya ikut bangkit tapi langsung menuju dapur saat mendengar jawaban Rayan.

“Ada tamu yah,” jawab Rayan sambil berjalan mengikuti ayahnya ke ruang tamu.

Di ruang tamu, ada Salma yang tampak ramah berbicara dengan Rein dan pasangan paruh baya itu. Salma memang anak yang supel dan pandai bersosialisasi, beda dengan Rayan sendiri yang kadang kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Setelah sang ayah sampai Salma langsung pamit ke belakang. Rayan sendiri mengambil tempat di samping ayahnya. Sebenarnya dia masih ada tugas kuliah yang harus diselesaikan, tapi berhubung salah satu tamunya itu dia kenal jadi Rayan urung mengerjakan tugas kuliahnya.

“Selamat malam, Pak Sandi benar?”

Ayah Rayan mengangguk. “Panggil Sandi saja.”

“Baik kalau begitu panggil saya Dion.” Ayah Rayan kembali mengangguk.

“Sebelumnya mohon maaf karena bertamu larut malam begini. Jadi langsung saja Sandi, kedatangan kami ke sini sebenarnya bermaksud untuk melamar nak Rayan untuk anak kami Rein.”

Rayan melongo dengan mata melotot kaget. Di sampingnya sang ayah tampak tidak kalah kaget juga. Salma yang sejak tadi menguping hampir menyemburkan tawanya kalau tidak ada bundanya yang kebetulan lewat membawa nampan berisi minum, menatap tajam ke arahnya.

Rayan masih dalam mode shocknya bahkan dia tidak sadar kalau sang bunda sudah duduk di sampingnya setelah mempersilakan tamunya untuk minum. Pikirannya melayang entah kemana. Bukannya dimana-mana lamaran itu dilakukan pihak laki-laki ya? Apa sekarang di jaman emansipasi wanita lamaran juga biasa dilakukan pihak perempuan dulu?

Rayan tersadar dari lamunannya saat merasakan tepukan di pundaknya. Sang ayah menatapnya dengan tatapan seriusnya. Ayahnya selalu seperti itu, selalu serius menanggapi segala hal.

“Rayan?” tanya ayahnya dengan nada rendah.

Entah itu maksudnya menanyakan tentang apa. Rayan bahkan masih sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia bahkan berpikir ini mimpi dan sebentar lagi pasti dia akan bangun. Sayangnya ini bukan mimpi, apalagi saat melihat senyum lebar milik Rein di depannya.

“I-ini maksudnya apa Rein?” tanyanya pelan. Berharap jika yang terjadi barusan hanyalah candaan gadis itu.

“Rein suka sama Rayan. Karena pacaran di larang, jadi Rein pikir kita harus menikah dulu sebelum bisa berpacaran dengan bebas. Tapi, kalo Rein nunggu Rayan yang lamar pasti nggak akan pernah terjadi sampai kapanpun. So, Rein di sini. Rayan please be my husband!”

Tbc...


Sorry for typo.
Hope u like.
Vin.

Please be my husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang