Part 10 : Nisa.

6.7K 587 39
                                    

°
°
°




Rayan terburu memarkirkan motornya dan segera melesat menuju perpustakaan. Sampai di sana terlihat pak satpam sedang mengecek pintu perpustakaan, memastikan pintu terkunci dengan benar.

“Pak Wahid,” panggil Rayan dengan napas satu dua.

Pak Wahid yang merasa terpanggil sontak menoleh sembari mengarahkan senternya ke arah Rayan. “Loh, nak Rayan kenapa ke sini?” tanya Pak Wahid heran.

“Pak, di dalam masih ada orang nggak?”

“Nggak ada, tadi sudah saya cek.”

Rayan terlihat cemas bukan main. “Bapak yakin? Siapa tau ada yang ketiduran di dalam pak,” ucapnya terburu.

Pak Wahid menggeleng. “Sudah saya cek, nggak ada orang di dalam. Kecuali kalau yang nggak bisa dilihat pake mata, mungkin ada.”

Rayan menghela napas. “Yaudah pak, makasih.”

Rayan berjalan lesu menuju parkiran. Sejak tadi dia berusaha menghubungi Rein, tapi nomor istrinya itu tidak aktif. Semua pikiran buruk yang coba dia halau pada akhirnya tetap mempengaruhi pikirannya.

Sepanjang perjalanan pulang Rayan tidak bisa fokus mengemudi. Beberapa kali orang menegurnya karena mengemudikan motornya asal-asalan. Rayan cukup kagum dirinya bisa sampai rumah dengan selamat.

Setelah memarkirkan motornya, Rayan mengetuk pintu sembari mengucap salam.

“Assalamualaikum,” ucap Rayan lantas masuk ke dalam rumah setelah melepas sepatunya.

“Waalaikum salam. Udah pulang Kak?” tanya bundanya dari arah dapur.

“Iya bunda, Rein-“

“Rein langsung tidur kayaknya abis sholat maghrib. Bunda nggak tega mau bangunin buat makan, kayaknya capek banget.”

Rayan membelalakkan matanya. “Rein di rumah??” tanya Rayan cepat.

“Iya, katanya tadi kamu ada urusan kak makanya dia pulang jalan kaki. Harusnya tadi kamu antar pulang dulu to kak, atau cariin taksi online gitu. Kok tega banget sama istrinya. Nggak kasian kamu?”

Reyan terhenyak. Rein bahkan tidak berusaha menjelek-jelekannya di depan sang bunda. Padahal Rayan sadar sepenuhnya itu adalah kesalahan paling fatal yang pernah dia perbuat. Membiarkan istrinya pulang sendiri, jalan kaki malam hari. Harusnya Rein tidak sebaik itu.

“Yaudah bun aku mau sholat dulu, belum maghrib tadi bentar lagi ‘isya.” Rayan hanya ingin cepat-cepat menemui Rein dan meminta maaf.

“Ya ampun Rayan! Yaudah sana cepat sholat! Jangan kebiasaan nunda-nunda sholat.”

Rayan mengangguk, menyalami tangan bundanya lantas segera menuju kamarnya berada. Rayan membuka pintu kamarnya dengan perlahan, terlihat Rein tidur membelakangi pintu dengan posisi miring dan kaki yang diganjal guling.

Rayan menyimpan tasnya di meja, melepas jaketnya dan menggantungnya di gantungan dekat almari, lantas berjalan mendekati Rein. Rayan berjongkok di bawah dekat dengan wajah damai Rein yang tertidur. Rayan tersenyum terenyuh. Tangannya bergerak menyisihkan anak rambut yang menjuntai menutupi wajah Rein.

“Maaf Rein,” gumam Rayan pelan.

Cup

Dan sebuah kecupan di kening Rein tanpa ragu Rayan berikan.

Maaf karena memikirkan orang lain sampai lupa kamu, batin Rayan.

***

Please be my husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang