Part 2 : Harus dilamar nih?

8.6K 773 15
                                    

°
°
°




Rein mengedipkan matanya dengan polos saat Rayan duduk di depannya, menatap tajam ke arahnya. Titik-titik keringat tampak di wajahnya yang terlihat lelah. Rambutnya kusut, dan tangannya mengepal di atas meja.

“Mau?” tanya Rein sembari mengacungkan sesendok besar es krim vanila yang sejak tadi dimakannya.

Rayan berdecak kesal, lantas memejamkan mata menahan amarah. Rein tersenyum kecil melihatnya. Ternyata Rayan bisa kesal juga ya?

“Lo kenapa bilang kecelakaan, ditabrak mobil sampai nggak bisa bangun? Padahal lo asik makan es krim di sini? Lo nggak tau gue lari dari kampus ke sini, tas sama motor gue bahkan gue tinggalin gitu aja di sana.” Rayan bertanya emosi. Walau dia berusaha sabar tapi siapa yang nggak kesal kalau diberi kabar kecelakaan tapi ternyata orang itu malah asik-asik makan es krim. Dan sama sekali tidak terlihat seperti orang yang habis kecelakaan.

“Cieeeee Rayan khawatir ya?” Rein mengedipkan matanya jahil.

“Lo kenapa sesantai itu? Lo nggak mikir kalo yang lo lakuin itu salah? Dan lo seneng bikin gue khawatir? Lo itu! Apa yang lo lakuin di dunia ini Cuma ngejahilin orang-orang, ngeganggu orang-orang hah? Dan lo seneng karena berhasil jahilin gue?”

Senyum jahil seketika luntur dari wajah Rein. Dia urung menyuapkan es krim ke mulutnya. Tatapannya lurus ke arah Rayan. Sejenak Rayan terpaku, di depannya ini entah siapa dan bagaimana bisa membuatnya kelabakan. Seorang Rayan yang kalem, dan irit ngomong mendadak bisa berbicara panjang lebar pada gadis itu. Rayan sendiri bingung dia itu kenapa?

“Ok, kita serius sekarang,” ucap Rein.

Rayan mengernyitkan keningnya. “Maksudnya?” Daritadi itu lo pikir gue bercanda? Batin Rayan kesal.

“Nama gue Brilliant Ivena Rein, gue pertama kali liat lo di cafetaria sekitar dua minggu yang lalu. Setelah itu gue penasaran sama lo dan nanya-nanya banyak hal tentang lo ke setiap orang yang dekat sama lo. Gue ngikutin lo kemana pun, gue nyuruh orang mata-matain lo, yeah lo tau sekarang gue seorang penguntit. Tapi informasi dari mereka nggak memuaskan gue sama sekali. Gue bahkan minta nomor lo seminggu yang lalu, tapi lo bahkan nggak pernah balas pesan gue hahaha... So, gue disini dan gue Cuma mau tau sesuatu tentang lo. Maaf kalau kelakuan gue keterlaluan.”

Rayan melotot kaget, kenapa dia tidak sadar kalau selama dua minggu ini dia diuntit. Dan lagi gadis di depannya yang terlihat polos itu bisa berlaku menyeramkan sampai menguntitnya kemanapun? Jangan-jangan saat dia ke toilet pun dia diikuti. Rayan mengusap tengkuknya yang mendadak merinding memikirkan hal itu.

“Kaget hm?” tanya Rein dengan senyum maklum.

Rayan refleks mengangguk kaku. Yang berhadapan dengannya itu bukan seorang gadis biasa.

“Maafin gue,” ucap Rein sekali lagi.

It’s ok, gue cuma nggak nyangka lo seniat itu sampai nyuruh mata-mata segala.” Rayan tersenyum paksa.

“Yah, tapi percuma gue masih mau tau banyak tentang lo.”

“Apa yang mau lo tau?” tanya Rayan pada akhirnya. Rasanya tidak tega membuat gadis itu melakukan segitu banyak hal hanya untuk tau tentangnya. Walau Rayan kurang nyaman dengan kelakuan gadis itu, tapi Rayan ingin tau apa yang membuat gadis itu penasaran padanya.

“Pertama, kenapa lo nggak mau pacaran?” tanya Rein dengan ekspresi serius.

“Siapa yang mengharuskan gue pacaran?” Rayan membalik pertanyaan Rein dengan mudahnya.

“Bukannya normal kalau setiap orang punya keinginan untuk punya pacar. Cuma sekali seumur hidup dia bisa merasakan masa-masa remaja, punya pacar, dan melakukan hal-hal menyenangkan lainnya. Lo nggak pernah punya keinginan seperti itu?”

Rein juga tidak pernah punya keinginan untuk punya pacar, sebelum dia bertemu dengan Rayan. Mungkin yang dirasakannya sekarang semacam cinta pada pandangan pertama. Pasalnya Rein sudah penasaran pada Rayan sejak melihatnya di cafetaria dua minggu lalu.

Rayan mengangguk, paham dengan pertanyaan Rein. “Begini Rein, kalau seorang lelaki benar-benar sudah siap jiwa dan raganya untuk menyukai lawan jenis. Dia nggak akan mengajak seorang perempuan pacaran, tapi dia akan langsung melamar seorang perempuan baik itu pada orang tuanya. Bukannya diam-diam ngajak ketemuan malam hari. Lelaki dan perempuan, haram hukumnya bersentuhan kulit dengan kulit sebelum mereka menikah.”

Rein mengernyit, masih tidak paham dengan ucapan Rayan. Kenapa Rayan berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Lelaki yang sering ditemui Rein sering mengajaknya pacaran, tapi Rayan bahkan nggak mau pacaran. Teman-teman di sekitarnya banyak yang sudah pacaran dan sering mengumbar kemesraan di depan umum, bergandengan tangan, atau cium kening, cium pipi itu hal biasa. Rein bahkan pernah memergoki temannya berciuman di belakang sekolah saat SMA. Tapi Rayan sungguh berbeda, dia bahkan bilang bersentuhan kulit haram.

“Lantas kalo mereka Cuma jalan bareng, tanpa bersentuhan tangan itu nggak boleh juga?”

“Rein, kalau laki-laki itu benar-benar serius dia nggak akan ngajak seorang perempuan yang bukan muhrimnya keluar rumah hanya berudaan. Karena hal itu pasti memicu untuk melakukan hal-hal lain seperti bergandengan tangan, berpelukan, berciuman atau bahkan berzina. Kalau laki-laki itu serius, dia nggak akan menggombal lewat pesan chat, atau rajin menelepon hanya untuk mengucapkan selamat pagi, ngingetin makan, ngucapin gud nite. Dia akan datang ke rumah lo, membawa kedua orang tuanya untuk melamar lo menjadi istrinya.”

“Bahkan sekedar chat aja nggak boleh? Itu sebabnya lo nggak balas pesan gue sama sekali?” tanya Rein penasaran.

Rayan mengangguk. “Karena pesan lo nggak penting, nggak berhubungan sama pelajaran. Karena dari sebuah pesan lo bisa suka sama seseorang Rein, hanya dari kata-kata lo bisa jatuh cinta.”

“Lo takut jatuh cinta sama gue?”

Rayan terkekeh lantas menggeleng cepat. “Bukan gue, tapi lo.”

“Kenapa gitu sih gue nggak paham,” ucap Rein dengan kening berkerut dalam. Entah kenapa Rein merasa kepintarannya hilang saat dia dihadapkan dengan masalah agama. Sejak tadi dia bahkan masih nggak paham. Dia hanya sekedar tau, jadi pacaran itu tidak diperbolehkan dalam islam itulah sebabnya Rayan nggak mau pacaran.

“Intinya begini, pacaran sebelum nikah itu haram. Pacaran sebelum nikah itu sama dengan zina. Lo chat mesra sama cowok, atau telepon sama cowok, walau lo nggak pacaran tapi sama aja itu haram.”

“Haram?”

“Haram itu yang dilarang sama Allah.”

Rein menunduk dengan tangan bertaut. “Jadi, kalo gue suka sama lo dan pengen lo jadi pacar gue nggak boleh?” tanya Rein sontak membuat mata Rayan membulat.

“Hah?!”

“Jadi gue harus datang ke rumah lo buat ngelamar lo?” tanya Rein lagi dengan polosnya.

Rayan melongo. Sebenarnya siapa yang laki-laki di sini? Kenapa jadi Rein yang mau melamarnya? Tunggu dulu, siapa yang mau dilamar?

“Lo mau ngelamar gue?!!”

Dan seisi cafe menatap ke arah Rayan dengan tatapan heran.

Tbc...

Sorry for typo.
Semoga suka.
Thx.
Vin.

Please be my husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang