Part 8 : Jealous?

8.9K 665 5
                                    


°
°
°


Akhirnya Rein menghentikan tangisnya setelah cukup lama berada dalam pelukan Rayan. Rein menjauhkan tubuhnya dari Rayan, lantas mendongak untuk menatap mata suaminya. Ada sebuah rasa penyesalan besar di sana, dan Rein tidak tega untuk tidak memaafkan Rayan terlalu lama.

“Nggak apa-apa Mas. Aku udah maafin kok,” ucap Rein dengan senyum tulus. Rein bahkan masih bisa tersenyum seperti itu, dengan mata sembab dan hidung memerah. Padahal Rayan yakin istrinya itu pasti kecewa.

“Mas, udah nggak usah dipikirin.” Rein mengusap lengan Rayan menenangkan.

Rayan masih menatap Rein dengan tatapan menyesalnya. “Kamu terlalu mudah maafin mas.”

Rein terkekeh. “Mas dengerin Rein ya. Rein itu nggak bisa lama-lama marah sama orang yang Rein sayang. Sama sahabat Rein juga, pasti nggak sampai dua belas jam juga Rein akan maafin mereka. Asal mas nggak selingkuh terus hamilin cewek lain Rein pasti bakal maafin mas. Tinggal rayu-rayu aja pasti deh langsung dimaafin.”

“Dan kamu dengerin mas. Kalo ada cewek yang akan mas hamilin itu pasti kamu.”

Rein tersipu malu. “Kapan mas mau punya anak?” tanya Rein dengan pelan. Rein memilih menunduk menatap tangannya yang terjalin. Dia tidak berani menatap Rayan karena terlalu malu.

“Ya, kamu emang udah siap buat hamil?” tanya Rayan santai.

“Boleh nggak kalo Rein selesaiin kuliah dulu?” Rein mendongak, menatap Rayan serius. Sesungguhnya Rein nggak bisa membayangkan kalau harus hamil sambil kuliah. Walau dia suka anak-anak tapi dia nggak sanggup kalau harus melakukan itu bersamaan.

“Mas malah berpikir memang seharusnya kamu selesaikan kuliah dulu.”

Rein tersenyum lebar lantas melemparkan dirinya dalam pelukan Rayan. “Makasih mas,” gumamnya pelan.

“Sama-sama sayang,” Dan Rayan dengan ragu mengecup pucuk kepala Rein dalam pelukanya. Terkadang dia masih kaku harus bersentuhan fisik dengan perempuan karena sebelumnya Rayan memang tidak tersentuh kecuali oleh keluarganya. Rasanya menyenangkan bisa berpelukan tanpa merasa takut seperti ini. Rayan mengeratkan pelukannya pada Rein, dalam hati bersyukur jadi orang yang dipilih Rein untuk dilamar. Rein itu istimewa dengan sikap berani dan kata-kata frontalnya. Itu juga yang membuat Rayan kagum pada Rein.

“Mas, sekarang jam berapa?” tanya Rein tiba-tiba sembari melepaskan pelukannya dari Rayan.

Rayan melihat jam dinding di dekatnya lantas melotot saat melihat jarum pendek sudah mendekati angka delapan.

“Mas, ayo berangkat!” seru Rein panik sembari menarik tangan Rayan menuju pintu keluar.

“Kamu belum makan,” ucap Rayan mencoba menghentikan tarikan tangan Rein.

“Nanti aja pas istirahat mas.”

“Okay.”

***

Rein buru-buru keluar dari ruang tempat perkuliahan saat jam terakhir telah usai. Ini hari pertamanya pulang bersama Rayan. Rein dengan mudah memaafkan Rayan pagi tadi. Rein maklum Rayan terbiasa melakukan apapun sendiri dan sikap cueknya sehari-hari membuat Rayan mungkin masih terbawa kebiasaan.

Sore ini Rein berniat mengajak suaminya untuk mampir ke kedai ice cream yang terletak di sebrang kampus. Niatnya sih mau kencan. Semoga saja Rayan mau dan nggak banyak alasan hanya untuk menolak Rein.

Rein berjalan cepat menuju parkiran. Dia sudah mengirim pesan pada Rayan jika dia akan menunggu di parkiran. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat merasakan cekalan di tangannya.

Please be my husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang