°
°
°“Assalamu’alaikum ummiku yang cantikkk!”
Rein tertawa mendengar nada ceria dari putrinya itu. “Wa’alaikum salam calon ummi~”
“Ih ummi, kok udah tau kalo Shaima bakal jadi ummi juga?” Wajah cantik dalam layar persegi itu tampak cemberut.
Rein tersenyum samar, sungguh tak terasa waktu berjalan begitu cepatnya. Baru kemarin rasanya Shaima berusia dua tahun, masih sering menangis dan meminta cokelat padanya dan Rayan. Tapi sekarang gadis itu sudah dewasa, bahkan kurang dari sembilan bulan lagi akan menjadi seorang ibu.
“Tuh kan! Ummi tuh mending ikut Shaima aja ke Bogor, daripada di rumah jadi sering melamun kan?”
“Enggak kok, ummi Cuma kepikiran kamu waktu masih kecil. Kangen rasanya, nggak nyangka kamu udah sebesar ini.”
Shaima mendadak menangis di seberang sana. “Shaima pengen terbang ke sana deh, pengen peluk ummi!”
Rein tertawa, sembari menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Padahal sudah mau jadi ibu, tapi terkadang tingkah Shaima masih seperti anak-anak.
“Shaima juga kangen abi hiks... kangen banget, kangen pelukannya hiks...”
Rein terdiam. Dia juga kangen Rayan. Jika tidak ingat jika dia masih terhubung dengan Shaima, Rein ingin sekali menangis.
“Abi udah tenang di sana,” ucap Rein pelan.
Shaima makin terisak di seberang sana. Rein tersenyum sebelum memutuskan untuk menyudahi panggilan video call dengan sang putri. Jika diteruskan mungkin Rein akan menangis di depan anaknya.
Sesaat setelah panggilan video call terputus, sebuah foto seorang laki-laki tersenyum lebar di layar membuat Rein tidak bisa menahan laju air matanya.
“Mas Rayan ...” lirih Rein lantas terisak mendekap ponsel itu di dadanya. Di sisa hidupnya, Rayan bahkan rela mati untuk melindungi orang lain. Dia menyelamatkan seorang anak yang lepas dari awasan orangtuanya dan hampir tertabrak truk di jalan besar depan rumah sakit tempat Rayan bekerja. Anak itu selamat, tapi sayangnya Rayan tidak bisa selamat dan meninggal di tempat kejadian.
Tidak ada yang menyangka di usianya yang baru empat puluh tiga tahun Rayan akan pergi untuk selama-lamanya.
Walau pun Rein yakin Allah lebih sayang Rayan karena mengambilnya lebih dulu, tapi sampai sekarang Rein masih seringkali merindukan suaminya itu.
Masih teringat jelas bagaimana awal mereka bertemu, sampai Rein yang datang melamar Rayan hingga permasalahan-permasalahan yang mereka lewati bersama.
Rein menyesal, karena selama hidupnya dia tidak penah memaksa Rayan untuk mengambil foto bersamanya. Hanya ada sedikit kenangan, itupun saat mereka masih remaja dan belum memiliki anak.
Foto yang berhasil dia abadikan dan dia jadikan wallpaper ponselnya pun hasil dari paksaan Rein sebelum Rayan pergi selamanya.
Tok tok tok
Suara ketukan di pintu membuat Rein yang sejak tadi terduduk di sofa ruang keluarga langsung berdiri dan beranjak untuk membukakan pintu. Saat pintunya sudah dibuka,
“Assalamualaikum ummi cantik!!” Terlihat dua anak laki-laki dengan tinggi hampir setara tersenyum lebar padanya.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Rein pelan. Dia tidak bisa menahan senyum tipisnya saat melihat salah satu dari keduanya membawa sebuah box makananan bebek bakar kesukaannya.
“Kata Dek Shaima dia bakal nyusul, kalau nggak malam ini ya besok pagi nunggu Mas Umar balik dari Singapura.”
“Ummi ini ayamnya taruh dimana? Aku taruh meja makan nggak apa-apa?”
Rein terdiam menyaksikan kedua anak laki-lakinya yang tampak sibuk di depannya. Dalam diamnya dia berharap Rayan bisa menyaksikan dua anak laki-lakinya yang tumbuh membanggakan.
“Nggak sabar nunggu cucu dari Shaima, nanti kalau sudah ada cucu mau aku ajak jalan-jalan keliling kota,” celetuk Rayan saat itu, dengan senyum lebar yang tampak antusias.
Tanpa sadar Rein sudah melamun cukup lama. Jika tidak disadarkan oleh Akmal, mungkin Rein akan terus melamun entah sampai kapan.
“Besok ummi ikut Akmal tinggal di semarang ya?” ajak Akmal pada Rein. “Akmal nggak mau ummi kenapa-kenapa di sini sendirian.”
Rein menatap lama putra pertamanya itu. Tangannya bergerak mengusap pipi Akmal. Tanpa sadar Rein tersenyum saat mendapatkan beberapa kemiripan antara wajah Rayan dan Akmal. “Nggak usah kak, ummi nggak apa-apa di sini.”
Akmal langsung memeluk tubuh mungil Rein. “Akmal sayang banget sama ummi.”
Bukan hanya Rein yang begitu kehilangan sosok Rayan dalam hidupnya. Karena bagi ketiga anaknya, Rayan adalah sosok ayah yang paling mereka andalkan selama hidup mereka.
“Zabran juga sayang ummi!” teriak Zabran dan langsung ikut memeluk sang ummi.
Rein memeluk erat kedua anak laki-lakinya. Setiap yang hidup entah kapan pada akhirnya akan mati. Rein sudah mengikhlaskan Rayan, walaupun seringkali masih memikirkan masa-masa mereka masih bersama. Karena sampai kapanpun Rein tidak akan pernah melupakan sosok suaminya itu. Rein hanya bisa berharap, jika mereka akan dipertemukan kembali di kehidupan selanjutnya nanti.
END
Gimana? Sedih nggak? Wkwkwk
Rayan enggak mati kok, aku cuma lagi pengen bikin yang sedih-sedih aja. Abis denger lagunya Andmesh – Hanya Rindu jadi kepikiran nulis ini. Aku bahkan sambil nangis nulisnya.
Please be my husband selesai di sini. Aku nggak bisa ngelanjutin lagi, walaupun rencananya mau aku tambah beberapa part buat moment anak-anak mereka. Tapi setelah aku coba berkali-kali buat ngetik moment mereka, malah nggak ada feel dan ancur banget.
Jadi aku putuskan untuk membuat cerita anak-anak mereka di beda tempat. Aku rencana mau buat cerita baru, udah jadi beberapa part sih tapi belum aku update.
Judulnya Green. Ditunggu yah, mohon dukungannya.
Makasih udah baca cerita ini sampai sini. Makasih untuk vote dan commentnya selama ini. Maaf kalo ada yang belum kebalas.
Vin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please be my husband!
ChickLitNamanya Brilliant Ivena Rein, atau akrab disapa Rein. Sejak kecil Rein tumbuh dengan kasih sayang yang melimpah dari orang-orang terdekatnya. Tumbuh menjadi remaja cantik dan dikagumi banyak kaum adam. Dia juga berprestasi di bidang akademik, menjad...