Part 22 : Isu.

6.9K 554 48
                                    


°
°
°

Rein tampak mengaduk-aduk tasnya, entah apa yang dia cari hingga isi tasnya dia keluarkan semua. Saat dia tidak juga menemukan yang dia cari, Rein berpindah mengaduk-aduk rak buku, lantas lemari pakaian hingga kamar yang tadinya rapi kini berubah seperti kapal pecah. Rayan yang baru saja selesai mandi menatap kaget pada isi kamarnya yang kini berhamburan kemana-mana.

“Rein, nyari apa?” tanya Rayan menghentikan aksi brutal Rein mengacak-acak isi lemari.

Rein menoleh ke arah Rayan dengan tatapan cemasnya. “Mas ponsel aku nggak ada,” ucap Rein. Kini matanya sudah berkaca-kaca. 

Rayan mengernyit, matanya menatap ke satu titik yaitu meja belajar mereka. Ada iphone milik Rein di sana, lantas ponsel mana yang Rein cari?

“Itu di meja ponsel kamu kan?” tanya Rayan sembari menunjuk meja.

Rein menggeleng. “Bukan yang itu, ponsel yang lama mas.”

Rayan mengangguk. Beberapa hari yang lalu mereka berkunjung ke rumah orang tua Rein, dan Rein membawa ponsel lamanya. Rein bilang banyak foto-foto aibnya di dalam ponsel itu. Tapi dasarnya Rayan tidak peduli dia cuek saja.

“Kok bisa hilang?” tanya Rayan heran.

“Ya nggak tau! Ini aku nyari nggak ada mas, gimana ini mas?”

Rayan menghela napas, terkadang Rein itu terlalu berlebihan. Daripada menenangkan sang istri Rayan lebih memilih memunguti baju-baju yang tersebar di lantai. Dalam hati dia merutuk pada istrinya itu, kenapa nggak dipindah pelan-pelan ke ranjang? Kalau seperti ini kan mereka harus mencuci ulang baju yang ada di lantai.

Tanpa memperdulikan Rein yang sudah menangis terduduk di pojok kamar, Rayan dalam diam membersihkan kamarnya yang berantakan. Menata kembali pakaian dan buku-bukunya.
Setelah beres barulah dia mendekati Rein. “Udah sini jangan nangis, lagian itu ponsel lama kan? Nggak pernah kamu pake juga,” ucap Rayan.

“Tapi mas, aku kan udah bilang isinya itu aib aku semua.”

“Seaib apa sih sampai kamu setakut ini hm?”

Rein menggeleng, dia tidak akan mau membuka aibnya di depan Rayan. “Udah lah aku capek!”

Rayan hanya bisa menghela napas, lagi. Ya Rayan juga capek. Dua minggu lagi UAS. Sedangkan resepsi pernikahan mereka rencananya akan di langsungkan minggu ini, lebih tepatnya empat hari lagi. Kemarin mereka sudah fiting baju tapi ternyata ada problem, Rayan sendiri nggak tau ada masalah apa dengan bentuk tubuh istrinya sampai gaun yang sudah jadi itu harus diperbaiki. Terkadang Rayan bertanya-tanya kenapa perempuan itu selalu ribet kalau masalah pakaian. Kurang inilah itulah, salah sedikit protes, harus sempurna. Sedangkan kalau Rayan sendiri, daripada mempermasalahkan masalah sepele seperti itu mending dia terima jadinya seperti apa. Kalau dirasa dipakai nyaman ya nggak masalah. Dasarnya memang Rayan nggak mau ribet.

“Mas flashdisk yang aku taruh di rak sini mana?!” tanya Rein sembari menunjuk deretan rak buku dekat meja belajar. Rak buku yang tingginya sampai langit-langit kamar itu dipenuhi buku-buku kedokteran milik Rayan di bagian tengah ke bawah, sedangkan di atas adalah koleksi novel Rein yang sudah pernah dia baca.

“Mas mana tau Rein,” jawab Rayan seadanya.

“Kok gitu? Aku kan udah bilang flashdisk yang di sini jangan dipindahin!”

“Emang tau darimana mas yang mindahin? Nggak baik fitnah suami sendiri, kamu nggak punya bukti.”

Rein menatap Rayan dengan tatapan lasernya. “Ya kalo bukan mas siapa lagi?! Kan yang tidur di sini Cuma Rein sama mas.”

Please be my husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang