°
°
°Rein terbaring dengan tubuh meringkuk seperti janin. Matanya memejam walau sejak tadi dia tidak bisa tidur. Sudah dini hari dan suaminya belum pulang ke rumah. Sejak pulang dari kampus sore tadi, Rein memilih untuk mengurung diri di kamar. Inginnya dia keluar rumah untuk mencari Rayan, memberi penjelasan dan memohon setidaknya Rayan mau berbaik hati mendengarkannya. Akan tetapi rasa malu dan takut menahannya untuk berdiam diri di dalam kamarnya. Apalagi setelah mendengar suara-suara dari luar kamar yang dapat dia dengar dengan jelas menyinggungnya.
Tak terhitung berapa kali Rein terisak di atas tempat tidurnya hingga air mata mengering, lantas tak berapa lama mulai terisak lagi, begitu terus berulang kali hingga Rein merasa lelah.
Rein tidak pernah ingat kapan terakhir kali dia merasa begitu terpuruk seperti ini. Kadang kala dalam perjalanan hidupnya ada hal-hal yang berada diluar kendalinya. Mungkin orang bisa menyimpulkan dia adalah seseorang yang beruntung, kaya, pintar, cantik, apalagi yang kurang dari Rein?
Teman.
Sahabat.
Orang yang mengerti dia di saat-saat terburuknya seperti saat ini. Orang yang menguatkannya saat dia merasa begitu putus asa. Orang yang menyayanginya, bukan karena derajatnya atau status sosialnya, tapi karena benar-benar ingin berteman dengannya.
Rein sendirian. Selama hidupnya tidak ada yang benar-benar mengerti dirinya. Ada beberapa hal yang tidak pernah dia bagi pada siapapun, Luna, Arini, bahkan orang tuanya sekali pun. Dia terlalu pandai menyimpan semuanya rapat-rapat sampai tidak ada siapapun yang tau. Rein mungkin terlihat baik-baik saja, tapi siapa yang tau dia menyimpan sebuah kesakitan yang tidak akan pernah orang bayangkan sebelumnya.
Kalian pernah merasa tertekan hingga merasa bahkan kalian tidak pernah diinginkan, tidak terlalu berharga? Rein merasakan itu sepanjang hidupnya. Sejak dia kecil yang bahkan belum genap satu tahun dan sudah tidak mengenal siapa orang tuanya. Sudah sering terjadi, dimana orang kaya akan begitu berkecukupan secara materi tapi tidak dengan kasih sayang keluarga.
Kalian mungkin akan bilang bahwa itu adalah hal sepele asal ada uang maka hidup akan bahagia. Well, asal kalian tau hidup itu nggak selamanya tentang uang. Bukan berarti kita akan bahagia jika kita miskin, tapi Rein sudah cukup merasa kaya selama sembilan belas tahun hidupnya. Apa sih artinya kaya materi tapi miskin dalam hal lain.
Rein bahkan tidak tau tujuan hidupnya sebelum bertemu dengan Rayan.
Dia bahkan pernah berkeinginan untuk bunuh diri di usianya yang menginjak empat belas tahun. Andai kalian tau seorang yang diam itu bukan berarti dia baik-baik saja. Ada yang memang pendiam, tapi ada yang diam karena dia merasa tertekan dan menyimpan begitu banyak beban sampai-sampai untuk bersosialisasi dengan orang lain terdengar menyeramkan. Dan dulu kala Rein adalah seorang pendiam dengan beban berat di pundaknya.
Yah, dia pernah berada di titik itu. Titik dimana dia merasa hidup itu nggak ada gunanya, lebih baik dia mati ketimbang hidup tanpa tujuan.
Ceklek.
Rein masih bergeming di tempatnya tanpa mau menoleh ke arah pintu. Tak lama dia merasakan dekapan hangat dari seseorang yang dia yakini adalah Rayan. Dan hanya seperti itu saja tangis yang dia coba tahan sejak tadi tumpah begitu saja. Rein meraung, bahkan menjerit sampai orang yang mendengarnya mungkin akan tau apa yang Rein rasakan.
"Maaf," ucap Rayan serak.
Rein masih terisak berusaha untuk memeluk Rayan lebih erat. Siapapun boleh mencacinya, tapi Rein benar-benar akan memilih mati jika Rayan melakukan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please be my husband!
Chick-LitNamanya Brilliant Ivena Rein, atau akrab disapa Rein. Sejak kecil Rein tumbuh dengan kasih sayang yang melimpah dari orang-orang terdekatnya. Tumbuh menjadi remaja cantik dan dikagumi banyak kaum adam. Dia juga berprestasi di bidang akademik, menjad...