Part 9 : Dia.

7.7K 587 17
                                    

°
°
°


Rein tidak bisa menahan senyumnya sepanjang hari ini. Alasannya apalagi kalau bukan soal Rayan. Semalam mereka jalan-jalan, walau hanya sebentar karena setelah itu Rayan harus pergi karena ada urusan mendadak. Tidak ada yang spesial, tidak ada perlakuan romantis, atau bahkan ucapan sayang. Jangan berharap Rayan akan dengan romantisnya menggenggam tangannya, atau menyuapinya makan. Hal itu nggak akan terjadi. Tapi walau begitu Rein tetap senang, karena itu Rayan.

“...Rein! Aduh nih anak kenapa lagi sih Rin?” kesal Luna melihat tingkah Rein yang melamun sembari tersenyum tidak jelas sejak tadi pagi.

Arini menggeleng, tampak sibuk dengan ponselnya.

“Lo juga, dari acara nikahannya si Rein sibuk mulu sama ponsel. Ya elah udah jomblo, dikacangin, ngenes banget hidup gue!”

Tidak ada reaksi dari Rein maupun Arini. Rein masih tersenyum aneh sambil menatap ke arah depan, sedangkan Arini tetap sibuk mengetik di ponsel canggihnya.

“Ya Allah, woy!” Luna menggebrak meja, akhirnya berhasil menarik perhatian Rein dan Arini, nggak hanya mereka seisi cafetaria bahkan menatap Luna.

“Kenapa?” tanya Rein dan Arini kompak menatap ke arah Luna.

Luna berdecak, menatap Rein dan Arini tak percaya. “Gila ya kalian, udah sibuk sama hidup kalian sendiri sampai lupa kalo ada gue. Nggak jadi, gue cabut duluan!”

Luna langsung pergi dari sana tanpa menoleh ke belakang. Rein dan Arini saling tatap sesaat, sebelum kembali sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Rein kembali melamun sedangkan Arini kembali sibuk dengan ponselnya.

***

Rayan menelan ludahnya gugup. Melirik ke depannya dan menemukan sebuah senyum teramat manis tersenyum padanya. Mata itu tampak berharap pada keputusan Rayan. Rayan berusaha mengingatkan dirinya sendiri untuk berhenti dan tidak membuat masalah. Tapi apa daya hatinya yang sejak awal terus menerus menyuruhnya untuk mengatakan iya.

“Jadi, mau ya?” dan suara itu bahkan teramat lembut hingga membuat Rayan bergetar dalam duduknya. Jantungnya berdegup gila-gilaan dan hormon adrenalin menguasainya. Sejenak wajah ceria Rein terbayang dalam pikirannya, tapi langsung kabur saat orang didepannya itu terus tersenyum ke arahnya.

Bolehkah dia mengatakan iya?

“Gimana ya,” Rayan masih ragu. Seorang Rayan adalah orang yang terbiasa mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Logikanya selalu berjalan seiring dengan hatinya. Tapi, kali ini keduanya bertolak belakang. Logikanya jelas menyuruhnya untuk mengatakan tidak dengan tegas, tapi hatinya terus berteriak untuk mengatakan iya.

“Kalo nggak sempat, aku nggak maksa mas,” orang itu tersenyum lagi. “Kalo sempat hari sabtu sama minggu mulai minggu ini. Jadi gimana?”

Rayan menghembuskan napasnya gugup, tangannya sedingin es padahal di sana terlalu panas karena matahari bersinar terlampau cerah di luar sana.

“Oke deh, hari sabtu sama minggu ya,” ucap Rayan pada akhirnya dihadiahi sebuah senyum lebar penuh ungkapan terima kasih.

“Makasih mas Rayan.”

Aku cuma mau dipanggil mas sama istriku, seluruh keluargaku bahkan tidak kuperbolehkan memanggilku mas. Tapi rasanya tidak bisa menolak saat orang itu memanggilku mas.

***

Rein menghembuskan napasnya, sesekali matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam lima tapi Rayan belum juga muncul. Dia sengaja menunggu Rayan di perpustakaan kampus karena takut Zean mencarinya. Rein sangat tau Zean paling anti dengan yang namanya perpustakaan, makanya dia menunggu di sana.

Setiap mendengar suara pintu perpustakaan Rein dengan semangat menoleh, berharap itu Rayan. Tapi ini sudah kesekian kalinya dan tetap bukan Rayan yang muncul di sana. Hampir empat jam dia menunggu dalam diam di sana, berharap Rayan segera datang karena perutnya sudah meraung lapar sejak dua jam yang lalu.

Ponselnya sunyi senyap, tidak ada notifikasi apapun yang masuk. Saat lagi-lagi pintu perpustakaan terdengar dibuka, Rein menoleh dengan lemas. Keningnya berkerut saat mendapati Damar yang muncul di sana dengan sebuah senyum kalem miliknya.

“Hai,” sapa Damar.
Rein mengangguk singkat berusaha ramah.

“Masih nunggu Rayan ya?” tanya Damar dan langsung mendudukkan diri di samping Rein.

“Iya nih, hehe ... “ Rein sedikit menggeser duduknya menjauhi Damar.

“Mau bareng aku aja nggak, ini aku mau pulang.” Damar menawarkan masih dengan senyum kalemnya. Sebenarnya Rein heran kenapa Damar bisa di sana, dan sampai menawarinya pulang bareng. Apa tidak terlalu mencurigakan?

“Nggak usah kak, mau nunggu Mas Rayan aja.”

Damar mengangguk. “Yaudah, udah lama kan duduk di sini? Beneran nih nggak mau bareng? Takutnya kamu ketemu sama cowok yang kemaren itu.”

Rein memilih menggeleng dengan tegas. “Nggak usah kak, tapi makasih udah nawarin.”

“Oke deh, aku balik dulu ya. Assalamualaikum Rein...”

“Waalaikum salam kak...”

Rein menutup buku yang sejak tadi terbuka di depannya tanpa dia baca. Sebentar lagi perpustakaan tutup. Dan Rein nggak mungkin menunggu Rayan di sana lebih lama lagi. Setelah mengembalikan buku yang diambilnya ke tempat semula, Rein memutuskan untuk keluar dari perpustakaan.

Langkahnya langsung membawa Rein menuju parkiran kampus. Tapi rasa lelahnya mendadak menjadi berkali lipat saat tidak mendapati motor Rayan terparkir di sana. Matanya menatap sekitar dengan cemas. Hari sudah hampir gelap dan dia tidak yakin masih ada bus ke arah rumah Rayan.

Tangannya bergerak cepat untuk mengambil ponsel di saku celananya, dan mendapati ponselnya kehabisan baterai. Rein semakin cemas. Kampus mulai sepi dan dia ketakutan Zean sewaktu-waktu bisa menemuinya. Oleh karena itu didorong rasa cemasnya Rein segera melangkah keluar kampus. Dia berniat berjalan kaki menuju rumah Rayan, itu lebih baik daripada menunggu Rayan yang tidak pasti.

Di tempat lain, beberapa kendaraan tampak berhenti saat lampu lalu lintas di depannya berubah warna menjadi merah. Rayan menyangga motornya dengan kedua kaki, lantas menatap sekilas ke arah samping kanan dan kirinya. Saat matanya menoleh ke kiri, saat itulah Dia mendapati Damar yang menatap ke arahnya dengan ekspresi kaget.

“Kenapa kak?” tanya Rayan setelah sadar dari keterkejutannya.

“Loh si Rein nungguin lo di perpustakaan kampus.”

DEG

Rayan seketika itu juga membeku. Bagaimana bisa dia melupakan istrinya padahal tadi Rein sudah mengabarinya. Suara klakson yang bersahutan membuat Rayan segera melajukan motornya. Di jalan yang agak sepi Rayan segera putar balik dan melajukan motornya dengan kecepatan penuh menuju kampus.

Bagaimana bisa dia melupakan Rein dengan mudahnya? Rayan mendadak merasa cemas bukan main. Suara adzan maghrib berkumandang dan lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Bagaimana bisa dia meninggalkan istrinya sendiri sampai melupakannya. Ini benar-benar kelewatan bahkan mungkin tidak termaafkan bagi Rayan sendiri.

Sadar atau tidak hanya ada satu alasan. Karena dia, dunia Rayan perlahan teralihkan.

Tbc...

Dikit Ya, sowwy late update.

Kemarin ga ada waktu buat sekedar buka laptop. Jadi maaf kalo ada yg nunggu.

Semoga suka.
Vin.

Please be my husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang