Part 17 : Rio.

7.3K 589 26
                                    


°
°
°



Di sepanjang perjalanan pulang, Rein memilih memeluk Rayan erat-erat melawan derasnya hujan yang masih belum reda. Rayan sudah menawarkan jas hujan yang lain, tapi Rein enggan memakainya. Dia terus bungkam padahal Rayan sudah berkali-kali mengajaknya bicara.

Sampai di rumah, mereka di sambut sang bunda yang tampak khawatir melihat menantunya yang menggigil basah kuyup kehujanan.

“Ya ampun Rein, ayo masuk bunda bikinin teh hangat.” Dan Rein hanya menurut saat sang bunda menariknya masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam sang bunda langsung pergi ke dapur untuk membuat teh hangat.

Rayan masuk belakangan setelah memasukkan motornya ke garasi yang terletak di samping rumah. Rein masih berdiri kaku di ruang tamu. Rayan yang melihat itu langsung menghela napas. Entah apa yang dilakukan Rio sampai Rein memilih diam sejak tadi.

Tanpa kata Rayan menarik pelan tangan Rein dan menuntunnya masuk ke kamar. Setelah itu Rayan menyuruh Rein ganti baju, yang untungnya dituruti Rein dalam diamnya. Setelah Rein berganti baju, Rayan langsung mengambil handuk untuk mengeringkan rambut istrinya yang basah. Rayan mendudukkan Rein di ranjang, lantas dia berdiri di depan Rein untuk mengeringkan rambut Rein.

“Cerita sama mas, kamu diapain sama Rio?” Rayan kembali bertanya sembari mengusapkan handuk di tangannya untuk mengeringkan rambut sepunggung Rein.

Rein masih memilih bungkam.
Rayan menghela napas. “Kalo kamu nggak ngomong, mas bakal ke rumah Rio sekarang buat hajar dia. Nggak peduli entar muka mas yang bonyok, soalnya Rio atlet karate.”

Rein mulai bereaksi, dia mendongak menatap Rayan. “Aku nggak diapa-apain kok,” ucap Rein pelan.

“Terus kenapa kamu diem aja dari tadi?” Rayan masih melanjutkan mengeringkan rambut Rein.

“Dia nembak aku.”

Jederr

Gila berani banget, batin Rayan. Dia langsung menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut Rein.

“Tadi harusnya Luna duduk di bangku belakang sama aku, tapi malah Rio yang duduk di belakang. Luna duduk di samping Edo di depan. Sejak awal aku udah risih sebenernya mas, dia mandangin terus. Nah pas mobil berhenti di pom bensin, si Luna pergi ke toilet, si Edo pergi beli cemilan.”

Rein diam sejenak, tampak ragu untuk melanjutkan ucapannya. Matanya sudah tidak fokus menatap mata Rayan. “Terus kami ditinggal berdua ... di mobil.”

Rayan memicingkan matanya. “Kamu diapa-apain di sana?”

Rein sontak menggeleng takut. “Dia cuma nembak aku di sana, terus ngajak aku ke hotel katanya bakal dia kasih imbalan.”

“Astaghfirullah...”

“Karena takut aku berniat keluar. Tapi dia nahan tangan aku, padahal aku udah berontak tapi nggak ngaruh sama sekali. Terus dia liatin layar ponselnya ke aku. Di layar ponselnya ada photo porno, ada photo cewek yang gitu, aku nggak tau gimana cara jelasinnya. Rasanya udah pengen nangis aja saat itu, takut diapa-apain sama dia. Akhirnya aku beneran nangis pas dia nunjukin video porno. Aku takut banget mas, pengen teriak tapi nggak bisa. Akhirnya dia berhenti nunjukin layar ponselnya waktu Luna dan Edo balik.”

Rayan langsung memeluk Rein. Kali ini dia benar-benar emosi. Ini sudah bukan masalah sepele lagi.

“Aku nggak bisa bayangin kalo beneran jadi nonton, pasti dia bakal aneh-aneh pas di dalem bioskop apalagi mereka mau nonton film romance.”

“Ya Allah Rein, beruntung kamu nggak diapa-apain.”

“Makanya pas sampai di parkiran mall itu Edo sama Luna sadar aku nangis. Terus mereka mau batalin acara nontonnya.”

Please be my husband!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang