Aku percaya bahwa Tuhan Maha Cinta, karena dari Tuhanlah manusia diberi sebuah kekuatan perasaan yang bernama cinta. Dan mungkin itu yang kurasakan saat ini, meski mencintai orang yang telah dimiliki.
Malam ini hujan turun lagi dengan deras. Aku sedang mengerjakan tugas bahasa Indonesia untuk membuat sebuah paragraf deduktif dan induktif yang harus dikumpulkan besok. Ini masalah mudah bagiku, mengingat mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran yang kusukai daripada pelajaran menghitung.
Aku memejamkan mata rapat-rapat untuk mengumpulkan konsentrasi, mengumpulkan ide untuk kemudian diserap otak. Namun sekarang tiba-tiba otakku beku, tak bisa memikirkan kalimat yang tepat untuk memulai awal paragraf.
Benar-benar payah, bukannya inspirasi yang ada di benakku melainkan sesosok cewek cantik di bawah pohon.
Ah sial, aku mengacak rambut frustrasi, lalu melirik ke arah samping meja belajar. Payung lipat berwarna merah hati tergeletak manis di sana. Tak akan pernah kukembalikan sampai waktunya tiba, biarkan kusimpan payung itu sebagai kenangan awal pertemuan aku dengan Salsha.
Aku melirik ke arah jendela kamar kosanku, hujan bercampur petir menggelegar. Lalu aku melirik luka di lenganku yang terbalut plester. Lantas aku teringat lagi kejadian tadi siang, membuatku jadi tersenyum sendiri.
***
"Terima kasih, Pak!" seruku kepada Pak Tama, penjaga sekolah. Aku terus berlari menuju kelas, aku sudah pasti terlambat pelajaran Sejarah. Ini semua gara-gara bus yang kutumpangi berjalan seperti layaknya siput.
"Maaf Bu Fatma, saya telat." Aku terengah-engah mengatakannya di ambang pintu.
Bu Fatma berdecak tak suka. "Semua manusia juga tahu kamu telat, Lukas."
Aku memberanikan diri menatap mata beliau yang kini berdiri persis di depanku. "I-iya, Bu, maaf ...."
"Ke lapangan sekarang juga. Lari sepuluh kali!" titah Bu Fatma tegas yang membuatku tak bisa berkutik.
Dengan perasaan kalut, sekarang aku berada di lapangan upacara sambil berlari mengelilingi lapangan sepuluh kali putaran sesuai perintah Bu Fatma yang notabene walikelasku. Gila, Ibu Fatma benar-benar menerapkan kedisiplinan tinggi. Padahal aku hanya telat 15 menit saja. Oke, delapan putaran aku masih kuat, hingga menuju putaran ke sembilan aku berhenti, menstabilkan napas yang memburu.
Sesaat aku siap untuk melanjutkan hukuman lariku ini ketika aku lengah tidak menyadari sebuah batu yang entah sejak kapan berada di area lapangan. Sontak aku tersandung hingga membuat tubuh ini jatuh ke lantai semen yang keras. Bukan sakitnya yang aku rasakan, tetapi rasa malunya itu yang tidak tertolong. Apalagi segerombolan anak kelas sepuluh di lapangan langsung menertawakanku dengan raut bahagia tingkat katulistiwa. Aku benar-benar menahan diri untuk tidak mengumpat.
"Hei Lukas, sini kamu!"
Suara berat itu keluar dari mulut Pak Bams, guru olahraga yang disukai banyak cewek di satu sekolah. Maklum saja selain karena beliau mengajar praktik olahraga cukup menyenangkan, bentuk tubuhnya yang atletis membuat nilai plus baginya.
Aku berusaha bangkit, meringis menahan lututku yang sepertinya nyeri. Dengan perasaan dongkol bercampur malu, aku bergegas mendekat ke arah Pak Bams.
Di depan Pak Bams sudah ada sekumpulan anak entah kelas sepuluh berapa yang sedang melakukan gerakan pemanasan. Mereka adalah anak-anak yang tadi menertawakanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
Teen Fiction(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...