Minggu sore dengan cuaca yang mendung namun tak pekat. Sinar matahari sesekali bersinar, sesekali redup tertutup awan. Seolah menggambarkan sebersit jiwa manusia yang terkadang semangat namun tak jarang juga lesu merambat.
Di depan rumah yang cukup mewah dengan taman kecil di sekitarnya, terparkirlah mobil APV berwarna hitam di sana. Refal berdiri di samping mobil itu sambil menggendong ranselnya. Aku bersama Juno dan Willy hari ini bersiap melepaskan Refal untuk terbang ke Bali yang akan berangkat sore ini juga.
Sopir ayah Refal sudah duduk di balik kemudi mobil. Siap mengantarkan majikannya ke Bandara. Sementara ayah Refal masih berada di dalam rumah.
Aku menatap Refal sambil berkata, "Jangan keseringan bolos lo, udah kelas tiga, bentar lagi ujian!"
Refal hanya menjawab dengan seringaian. Kemudian Willy ikutan berseru, "Hati-hati bro, bisa jadi lo kecantol sama cewek cantik di Bali!"
"Yah, semoga saja ada satu gitu yang nyantol," balas Refal sambil tertawa pelan.
"Jangan betah-betah, nanti lo malah tinggal di sana selamanya," timpal Juno sambil menepuk bahu Refal. Sebelum Refal sempat menjawab, Ayah dan Ibunya Refal muncul dari arah dalam rumah sambil berbincang entah apa.
"Oh iya kalian, jangan lupa belajar yang rajin. Biar si Refal bisa dapat contekan dari kalian," ujar Ayah Refal sambil menatap kami satu per satu. Sementara anaknya yang disebut hanya bersungut-sungut.
Melihat ekspresi kami yang dipenuhi banyak tanda tanya, Ayah Refal kembali berkata, "Jangan salah paham dulu. Maksudnya, otak kalian mentransfer ilmu buat otak Refal yang kecil itu."
Refal misuh-misuh dikata ayahnya sendiri berotak kecil. "Aku ngga sebodoh itu kali, Yah!"
"Yaa, dalam istilah lain, ajari Refal pelajaran yang belum dia tahu," sambung Ayah Refal terkekeh.
"Om bisa aja. Saya seketika jadi merasa pintar," ucap Willy dengan pedenya.
Setelah beberapa menit diisi percakapan-percakapan antara kami semua, akhirnya Refal masuk ke mobil diikuti ayahnya yang duduk di kursi belakang.
Refal membuka kaca jendela mobil di kursi depan, sesaat sebelum berjalan sambil mengangkat tangannya sebagai ucapan selamat tinggal. Aku, Willy, Juno dan ibunya Refal menatap kepergian mereka sambil melambaikan tangan.
***
Aku melirik jam di tangan kiriku. Mengembuskan napas, aku menatap ke arah depan menunggu kedatangan Willy. Saat ini, aku sedang berada di mini kafe depan sebuah warnet yang terlihat ramai.
Lima belas menit yang lalu, Willy sudah memberi tahu bahwa dia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat ini, sebab aku dan Willy berencana akan mencari materi geografi untuk presentasi.
Sekali lagi aku menyeruput Capuccino yang sudah tinggal sedikit. Suasana sore yang terasa dingin membuat sensasi nikmat ketika tubuh dialiri minuman berkafein tersebut.
Mendadak dalam kesendirian ini, ponselku bergetar tanda SMS masuk. Tak perlu dibuka juga sudah tahu bahwa SMS tersebut berasal dari operator yang selalu setia memberikan promo paket atau nada dering. Namun karena penasaran--siapa tahu juga ada promo paket internet murah--akhirnya kubuka pesan tersebut. Oh sialan. Ternyata dugaanku salah. Pesan itu bukan dari operator melainkan dari Willy. Tumben anak itu pakai SMS?
Willy : Sorry Kas, hari ini tiba-tiba gue ada keperluan mendadak. Jadi cari materinya besok aja ya!
Astaga, keterlaluan temanku yang satu itu, kenapa tidak memberi tahu dari awal? Ah sudahlah. Dengan hati yang sedikit dongkol, aku merapatkan jaket dan menggendong tas siap keluar dari kafe ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
Teen Fiction(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...