"Kita sama-sama tahu bahwa hujan merupakan pesona alam yg indah. Tapi ada satu hal yg tidak kamu tahu? Hujan tidak lebih indah dari semua yg ada pada dirimu."
***
Move On. Itulah kata yang sering kuucapkan dalam hati akhir-akhir ini. Sikap Friska setelah aku memutuskan hubungan dengannya masih sama seperti dulu. Tersenyum jika bertemu. Aku tak menyangka hatinya selembut kapas. Ah setidaknya tidak ada kata benci di antara aku dan dia.Setelah sekian lama aku tidak pernah lagi ke tempat ini, akhirnya sepulang sekolah--setelah sepi tentu saja--ku menyempatkan diri duduk di taman depan sekolah. Pada kursi yang sama, aku dulu bertemu Salsha di tempat ini. Dia memberi plester di lenganku yang terluka. Kejadian itu entah mengapa masih terpatri dalam ingatanku.
Lamunanku terbuyarkan ketika seseorang berdiri di depanku. Lagi-lagi aku merasa deja vu. Apa orang di depanku ini adalah ....
Aku mendongakkan kepala. Tidak, dia bukan seseorang yang sama. Lili tersenyum tipis ke arahku. Hei sedang apa dia di sini?
"Aku boleh duduk di sini?" Lili bertanya menunjuk tempat di sebelahku. Aku mengangguk sembari tersenyum.
"Kok jam segini belum balik?" tanyaku memecah kebekuan setelah Lili duduk di sampingku.
"Aku habis ada rapat OSIS," jawabnya. Lili dan Salsha memang menjadi anggota OSIS sekarang. Tak heran banyak kegiatan yang menyita waktu mereka.
Aku mengangguk mengerti. "Kebetulan aku lihat Kak Lukas di sini sendirian."
"Iya sendiri nih," jawabku terkekeh.
"Oh iya, Kak Lukas aku mau nanya. Menurut kakak, Kak Juno orangnya gimana?" lanjut Lili. Aku menoleh ke arahnya. Jadi sekarang Lili sedang menjadi pengagum Juno? Aku senang, dia sudah tidak ada perasaan sedikit pun terhadapku. Namun karena apa aku jadi merasa bersalah mengenai perasaan ini.
"Juno anaknya yah gimana ya, dia cuek, baik, tapi kadang nyebelin. Polos juga. Itu menurut sudut pandang gue," pungkasku menjelaskan gambaran Juno sesuai yang kutahu.
Lili mengangguk tersenyum. "Kenapa? Lo suka ya sama Juno?" tebak aku langsung hingga membuat rona pipi Lili merah seketika.
"Dia lucu ya." Aku setuju. Tapi aku yakin kata lucu yang keluar dari mulut Lili bermakna lain.
Lantas aku teringat sesuatu. Aku membuka tas dan mengambil sebuket bunga mawar yang terpaksa kubeli gara-gara belum lama tadi Mas-Mas penjual bunga keliling, menawarkan buket bunga yang tersisa terakhir kepadaku.
"Ini buat lo!" Entah apa yang kupikirkan, aku menyodorkan sebuket bunga mawar itu ke hadapan Lili. Lili mengernyitkan dahi.
Terlihat ragu, lalu menerima juga bunga tersebut.
"Sebagai ucapan terima kasih gue," kataku lagi.
"Buat?" Lili bertanya penasaran.
"Buat ... sesuatu yang udah bikin gue lega dan sebagai bentuk persahabatan kita," ujarku akhirnya. Membuat Lili mengangguk.
Aku ikut mengangguk, menyunggingkan senyum.
"Kak Lukas maafin aku ya?"
"Kenapa jadi minta maaf?" tanyaku, menoleh ke arah cewek di sebelahku itu.
"Sebenernya aku cuma sekedar suka sama Kak Lukas, dan ...." Lili menggigit bibirnya sebelum melanjutkan, "Dan ngga terlalu berharap kok. Lagian aku tahu diri mana mungkin Kak Lukas juga suka sama aku."
"Hei kenapa lo ngomong kayak gitu?"
Lili hanya bergeming. "Li ... sori ya, gue ngga bermaksud PHP atau apa. Kita kan-""It's okay ... ngga apa-apa kok, Kak." Lili memotong ucapanku sembari tersenyum simpul. Hal itu lantas membuatku kembali merasa tak enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
Novela Juvenil(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...