Siapa pun pasti mengerti makna kata perpisahan. Perpisahan sementara maupun perpisahan abadi. Dan hidup ini memang seperti tentang perpisahan. Tak peduli seberapa sayang dan cintanya kita terhadap orang di sekitar, jika waktu sudah memutuskan berpisah maka hati hanya bisa pasrah. Ah ... betapa pun sensitifnya kata pisah. Melepas dan memberi jarak pada raga, dan bahkan jiwa yang telah lama bersama. Rasa sedih kian menghinggapi tentu saja.
Seperti yang aku rasakan kali ini. Senin lalu setelah upacara bendera usai, kami dikejutkan dengan kabar tentang perpisahan. Pak Hilman akan pindah tugas ke salah satu SMA Negeri di Depok. Sisa mengajar beliau di SMA Merah Putih hanya tinggal hitungan minggu. Tentu saja, wajah-wajah penuh kesedihan terlihat jelas di seantero lapangan. Terlebih, murid-murid kelas 12 seperti kami yang sudah mendapat banyak ilmu bahasa Indonesia dari beliau. Dan kalian ingat? Aku pernah mengatakan bahwa Pak Hilman guru favoritku? Jika kalian ingat maka kalian benar-benar membaca kisah ini dengan hati, tetapi jika tidak, akan aku pertegas sekali lagi, bahwa Pak Hilman guru favoritku nomor satu di antara semua yang terfavorit. Namun sayang, beliau sudah harus berpindah sebelum kami wisuda nanti.
Desember kembali menyapa. Satu bulan telah berlalu saat kemenangan tim voli kelas kami. Dan kini kami semakin disibukkan dengan pelajaran-pelajaran tambahan menjelang usainya semester 1.
Aku menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. Langit malam awal bulan Desember tampak cerah. Bintang bersinar cemerlang, berjuta kunang-kunang menghiasi sekitar dan tampak terang benderang. Di sebuah bukit tak jauh dari sekolah, aku bersama ketiga sahabatku dan Arana sedang menatap hiruk pikuk sudut kota dari ketinggian.
Angin malam menerpa wajah, sayup-sayup menyejukkan mata yang lelah. Seperti biasa, dari ketinggian kami bisa melihat sudut kota dengan indah nan megah.
Arana berdeham, memecah udara sunyi. "Temen-temen. Besok lusa gue ulang tahun. Waktunya mepet, maka dari itu gue ngga mengharapkan apa-apa dari kalian. Kecuali satu .... Kalian datang ke acara kecil gue ya."
Sesaat kami berpandangan satu sama lain. Willy sudah akan bersuara, tapi Arana mendahului. "Buat yang pertama dan terakhir kali."
"Kenapa harus terakhir kali?" tanyaku dan Refal bersamaan, dengan suara serak.
Arana mengedikkan bahu. "Mungkin tahun depan ngga akan ada kalian lagi. Kalian udah akan sibuk dengan kuliah atau pekerjaan masing-masing."
Tidak ada yang merespons untuk sesaat. Suara jangkrik malam mendominasi sekitar. Tak bisa dipungkiri, itu memang benar adanya, kami sudah akan lulus dan tahun depan mungkin saja kami sudah tidak dalam satu lingkup yang sama.
Segera aku mengangguk kuat sembari tersenyum. Aku tidak ingin membahas soal perpisahan lagi di saat Pak Hilman akan berpisah meninggalkan kami. "Pasti, Na, pasti kita datang kok ke acara lo."
Arana tersenyum simpul saat Juno dan Willy mengiakan perkataanku. Lalu matanya mengarah ke Refal penuh harap. "Akan gue usahain datang, Na. Dan gue ... janji bakal ngasih lo sesuatu sebagai kenang-kenangan," kata Refal akhirnya.
"Ngga perlu ... gue ngga minta kok," sahut Arana.
"Ngga perlu lo minta, gue tetap akan ngasih." Refal tetap dengan pendiriannya.
Arana menundukkan kepala, tampak menyembunyikan senyum atas rasa bahagianya. Melihat itu aku semakin ingin tahu siapakah yang ada di hati Refal saat ini? Mungkinkah Arana? Atau masih tetap Ista?
Meski jarum jam baru menunjukkan pukul setengah sembilan malam, kami memutuskan untuk turun dari bukit.
Terlihat, Arana sedang bercanda dengan Willy dan Juno di depan. Aku menoleh menatap Refal yang sedang serius menapaki jalan. Kurangkulkan tanganku di pundaknya. "Fal ... sebenernya lo mau milih siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
Fiksi Remaja(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...