Bel berakhirnya tanda pelajaran baru saja berdering. Semua murid di kelasku memasukkan peralatan tulis ke dalam tas masing-masing bersiap untuk pulang.
"Oke, jangan lupa tugas kelompoknya dikumpulkan Senin depan. Ingat! Kerjakan semua soal simulasi dengan berdiskusi," ujar Bu Elita guru bahasa Inggris menutup pelajaran di jam terakhir.
"Ibu koreksi Senin depan. Yang ketahuan tidak mengerjakan tugas, siap-siap nilai rapot kalian kosong," lanjut beliau setelah kami sudah menggendong tas masing-masing.
"Oh iya, Bu, maaf, kelompok ini berlaku sampai kapan?" Uyung mengacungkan tangan bertanya.
Bisa kulihat sebagian teman-teman sekelasku mendesah mendengar penuturan cewek itu. Benar-benar mengulur waktu.
"Berlaku sampai ujian nanti. Makanya saya sengaja suruh kalian buat kelompok sendiri supaya nyaman." Bu Elita menjawab sambil duduk di bangku guru.
Semua murid hanya mengangguk mengiakan. Tak lama akhirnya kami keluar kelas setelah salam dan tak lupa menyalami Bu Elita yang sudah berdiri di depan kelas.
"BTW, tuh si Refal lagi ngomong apaan sama Bu Elita?" Aku bersama Willy dan Juno sedang menunggu Refal di depan pintu. Entah apa yang sedang cowok itu bicarakan dengan Bu Elita di dalam sana setelah ruang kelas kosong.
"Tungguin aja dulu." Willy menjawab sambil mengunyah permen karetnya.
Aku berpandangan dengan Juno sambil mengedikkan bahu tanda tidak tahu ini situasi seperti apa."Guys, gue barusan bilang sama Bu Elita. Gue pindah kelompok bukan sama kalian bertiga." Sambil berjalan di koridor Refal mulai menjelaskan. Sudah kuduga, pasti ini tentang kelompok bahasa Inggris.
"Loh, emang kenapa, Fal?" tanya Juno mengernyitkan dahi. Mewakilkan keheranan aku dan juga Willy.
Refal mengangkat bahu tak acuh lalu berkata, "Gue tukeran sama Tito. Jadi si Tito yang bakal masuk kelompok kalian."
"Tio apa Tito?" kataku memastikan tidak salah dengar. Pasalnya kedua teman sekelasku itu mempunyai nama yang pengucapannya hampir sama.
"Tito."
"Fal, kenapa tukeran segala? Ini kesempatan mumpung kelompok bebas." Juno mengeluarkan argumen. Langkahnya terhenti yang otomatis membuat langkah kami juga ikut terhenti.
Aku mengangguk setuju. "Iya. Kita, kan, biasa bareng."
"Kita ngga harus selalu bareng-bareng. Ada kalanya kita harus berpisah," jawab Refal menatapku.
"Lo ngomong apaan sih?" Aku bertanya bingung.
Belum sempat Refal membuka suara, Willy tiba-tiba menceletuk, "Oh jadi tukeran sama Tito ya! Lumayan. Dia kemarin ulangan Inggrisnya tertinggi, kan?" Willy menganggukan kepala. Seolah-olah tidak memusingkan keputusan Refal yang aneh itu. "Jadi, besar kemungkinan nilai kelompok kita juga bakal dapat nilai bagus."
"Bagus deh kalau kalian sadar. Okeh gue balik duluan, kalian pada naik bus, kan? Bye." Refal melambaikan tangan sambil berjalan meninggalkan kami bertiga yang terbengong parah.
Aku menghela napas lalu menatap Juno dan Willy bergantian. Tak habis pikir dengan sifat Refal yang sering sensi.
"Aneh tuh anak," gumam Juno.
"Au ah gelap!" sahut Willy tak acuh.
***
Awan hitam menggumpal membuat cahaya matahari di siang sepulang sekolah ini tak terlihat. Namun meski mendung, hujan belum kunjung turun.
Aku bersama Juno dan Willy berjalan menuju gerbang. Hari ini Willy memang tidak membawa motornya lantaran sedang dalam kondisi perbaikan di bengkel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
أدب المراهقين(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...