"Assalamualaikum, kakak-kakak semua!"
Suara Refal terputus oleh kedatangan seorang cewek. Aku mendongak, mendapati Ista berdiri di depan kami. Tersenyum penuh arti.Lalu seolah tersadar, kami serempak menjawab salamnya. "Waalaikumsalam."
"Ista? Lo ngapain di sini?" tanyaku kemudian, merasa penasaran.
Ista memberengut mendengar pertanyaanku. "Emang kenapa? Ngga boleh ya?"
"Bu-bukan gitu maksudnya. Lo kenapa bisa ada di sini? Lo tahu dari mana kita kumpul di sini?" tanyaku lagi, secara beruntun.
"Gue tahu dari Kak Juno," sahut Ista. Dalam hitungan detik, kepala kami menoleh ke arah Juno yang memasang ekspresi acuh tak acuh. "Kalian mau pada latihan voli buat final besok, kan? Gue boleh nonton ya, Kak. Soalnya di rumah gue gabut banget ngga ada kegiatan," pungkas Ista menjelaskan.
"Ya pasti boleh, lah, Ta." Refal berkata tulus, mengulum senyum untuk Ista yang hari ini menggeraikan rambutnya. Ista mengacungkan ibu jarinya, sembari membalas senyuman Refal.
"Permisi!" Tak lama kemudian, satu cewek datang lagi di hadapan kami. Kalian bisa menebak? Iya, itu suara Arana. Berbeda dengan Ista yang datang tanpa sepengetahuan kami, Arana memang sudah berencana datang menonton latihan untuk memberi dukungan penuh terhadap tim kami.
Menyadari kehadiran Ista yang ternyata ada di sebelahnya, senyum yang ditampilkan Arana lenyap seketika. "Lo ada di sini juga?" tanya Arana skeptis.
Ista memutar bola matanya. "Iya. Emang kenapa, ngga boleh? Gue juga support mereka kali."
"Satu, gue ngga peduli lo dukung mereka apa engga. Dua, lo bisa ngga sih ngomongnya biasa aja?" ujar Arana.
"Biasa aja gimana maksud lo? Lo ngga ngaca? Harusnya lo tuh yang biasa aja," tukas Ista dengan nada ketus.
Arana tampak menghela napas. Berusaha menampilkan ekspresi tak peduli. Namun sepertinya aku melihat kesedihan di kedua matanya.
"Panas euy panas ...." Willy seolah menyindir kedua cewek tersebut, topinya kembali digunakan untuk mengibaskan wajah. Demikian Endra, melakukan hal yang sama.
"Udah, udah, kalian ngga perlu ribut. Kita semua saling dukung satu sama lain." Refal berdiri dari duduknya. Tampak dilema mengetahui cewek yang ditaksirnya berseteru dengan cewek yang mungkin masih memberi harapan untuknya.
Keheningan menyelimuti sesaat. Panas matahari siang ini memang tak terkira, begitu menyengat. Tak lama kemudian, sebuah suara memecahkan kebekuan ini.
"Yuhuuuu!! Ayo guys kita cabut latihan!" Anissa muncul dari dalam kamar seraya menggandeng lengan Fida yang berjalan di sebelahnya. Mantan pacar Tito itu mengganti celana jeans-nya dengan celana Adidas yang tampak sama dengan yang dikenakan Fida. Rambutnya yang tadinya digerai, sekarang dikucir satu dengan sebuah bandana warna putih melingkari kepalanya. Dan tak lupa, kacamata masih dipakai Anissa.
"Kak Anissa? Heboh amat, Kak?" tanya Ista, terlihat menahan tawa melihat penampilan Anissa.
Jian sudah tertawa-tawa kecil. Mungkin menurutnya sosok Anissa adalah seorang yang ceria seperti dirinya. Dengan begitu, Jian merasa sedang melihat kembarannya.
"Ah biasa doang mah." Anissa mengibaskan rambut.
Matahari kian bergerak ke barat, kami berjalan cepat menuju lapangan yang di maksud. Setelah sampai di lapangan yang hijau dan cukup luas, para pemain voli segera merapat ke tengah lapangan dengan Refal sebagai pemimpin.
Aku bersama Juno, Ista, Arana dan Jian berdiri di pinggir lapangan di tempat khusus penonton yang memang ada atapnya seperti halte. Dipikir-pikir, sudah cukup lama aku tidak mengunjungi lapangan ini. Terakhir kuingat, saat perpisahan pertama dengan Salsha di kala hujan turun dengan deras. Aku menahan senyum mengingat memori romansa itu. Kilasan balik tersebut terputus saat kudengar dari arah lapangan, Refal Cs baru saja selesai briefing lalu dengan serempak mengucapkan, "12 IPS 1 ... pasti bisa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
Teen Fiction(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...