Juli, 2019
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu, meninggalkan kenangan demi kenangan yang akan tersimpan dalam ruang rindu.
Masa putih abu-abuku telah usai, akan tergantikan oleh masa di mana hidup yang sesungguhnya akan dimulai.Wisuda dan acara perpisahan sekolah juga sudah digelar, semua berjalan dengan lancar. Aku bersyukur, ayah datang dari Jogja berkumpul bersama wali murid yang lain untuk menghadiri acara wisuda tersebut. Tersenyum bangga, kami mengabadikan momen tersebut dalam ingatan.
Rintik gerimis membungkus halaman taman depan sekolah sore hari ini. Membasahi bunga-bunga yang bersemi.
Aku menatap gedung sekolah di depanku, tersenyum simpul sembari membayangkan kilas balik masa-masaku dan para sahabat di gedung tersebut. Mungkin untuk sementara waktu, aku akan berpisah dengan sekolah ini dan juga berpisah dengan Willy, Juno serta teman-teman satu angkatan.
Setelah resmi menjadi alumni, tentunya kami telah memiliki prospek masing-masing untuk ke depannya. Juno, cowok itu akan berencana masuk ITB melalui jalur SBMPTN. Willy tak melanjutkan pendidikan sementara aku akan melanjutkan ke sebuah universitas di Jogja. Meski kami berpisah, tetapi dalam hati kami sudah berjanji untuk tetap mempererat tali persahabatan hingga kapan pun. Berjanji pula setiap ada waktu luang, kami akan menyempatkan diri berkumpul, walau mungkin kami telah memiliki kesibukan serta teman-teman baru.
Aku melirik arloji di pergelangan tangan. Arloji baru dari ayah yang dibawa saat jelang acara wisuda. Sebagai hadiah untukku, katanya.
Lantas merapatkan jaket saat angin berembus kencang. Sembari menunggu seseorang di taman ini, ingatanku terbang ke masa di mana pertama kali aku mengenal dia, di tempat ini, di bawah hujan pada bulan Desember kala itu.
Aku tersenyum getir mengingat hal tersebut. Bodohnya diriku saat jantung ini mengalirkan debaran tak menentu menuju sebuah rasa bernama cinta. Cinta kepada seseorang yang nyatanya sudah ada yang memiliki. Sampai waktu berjalan cepat, aku masih saja sering berharap. Hingga waktu itu tiba ketika aku mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya kepada dia. Gadis bernama Salsha.
Melepaskan dia secara perlahan memang tak mudah. Namun, itu suatu hal yang perlu aku lakukan dan nyaris berhasil untuk beberapa bulan ini. Aku konsentrasi belajar menjelang ujian, menikmati hari-hari terakhir kebersamaan dengan teman, dan tak memikirkan masalah hati. Aku berhasil, aku sudah tak mengharapkan apa-apa lagi dari dia. Terpenting hatiku sudah lega pernah mengungkapkannya.
Namun tak kusangka, tepat sehari setelah acara wisuda, aku mendapat kabar dari Salsha mengenai perasaan dia yang sebenarnya terhadapku selama ini. Awalnya aku sudah tak peduli lagi, toh aku sudah tidak mengharapkannya. Akan tetapi kabar itu sangat mengganggu pikiranku. Tentu saja membuat aku tak percaya dengan semua ini dan rasanya seperti mimpi.
Di malam pada bulan Juli yang diguyur hujan, aku baru saja menutup buku tahunan--yang diberi dari pihak sekolah sebagai kenang-kenangan--saat ponselku berdering. Nama Salsha tertera di layar membuatku meneguk ludah. Tak biasanya Salsha menelepon. Jujur saja selama ini kami tak pernah mengobrol melalui telepon, lebih sering secara langsung maupun pesan. Lagipula aku juga sadar diri, bahwa dia sudah ada yang memiliki, bukan?
Dengan sedikit gentar, aku mengangkat telepon tersebut. Kukira Salsha salah sambung atau apa, tapi ternyata dia memang sengaja.
Hujan di luar yang deras menjadi latar belakang saat aku mendengar sebuah isakan tangis dari Salsha di ujung sana. Aku sontak mengernyit heran.
"Kak Lukas ... sebenernya aku mau bilang ...."
"Ada apa, Sal? Kenapa lo nangis?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
Teen Fiction(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...