Eps.33 - Firasat

218 20 43
                                    

Malam semakin larut, bintang-bintang di langit sesekali tertutup kabut. Kabut yang berarak tertiup angin malam. Membuat udara seketika dingin karenanya. Tak terkecuali di dalam kafe Empat Duapuluh yang masih tampak ramai, meskipun dingin-dingin sejuk, namun aku merasakan sebuah perasaan hangat yang mengalir di denyut nadiku saat persahabatan yang terjalin ini semakin kuat dan kokoh.

Aku sedang menusuk roti bakar saat sebuah suara terdengar dari arah panggung. Setelah menghabiskan makanan utama, saat ini kami sedang menikmati camilan sebagai penutup.

Suara dari arah panggung mengusikku sehingga membuat kepala ini menoleh. Dicky berdiri di sana sembari memegang mic sebelum berkata, "Untuk semuanya mohon perhatiannya sebentar. Kita kedatangan tamu spesial malam ini. Mereka akan menyanyikan sebuah lagu di atas panggung ini, menghibur kita semua yang tentu ada di sini."

Tamu spesial? Apakah seorang penyanyi terkenal? Ah entahlah semua rasa penasaran ini tergantikan dengan rasa kagumku terhadap Dicky. Baru kusadari ternyata dia mempunyai bakat menjadi MC.

Semua pengunjung kafe menampilkan wajah yang kurang lebih sama seperti aku dan teman-temanku yaitu penasaran siapakah penyanyi yang di maksud. Luar biasa. Seseorang tolong ingatkan aku untuk memberikan dua jempol kepada pihak kafe Empat Duapuluh lantaran sudah mendatangkan penyanyi yang disebut-sebut spesial itu.

"Ya semuanya, mari kita tengok di meja nomor tujuh!" Dicky masih asik berceloteh dan kudapati dia sedang menatap ke arah kami.

Tunggu. Dicky barusan bilang apa? Meja nomor 7? Itu kan meja tempat kami. Astaga, kalau aku tidak salah lihat, bahwa mata Dicky menatap lurus ke arahku. Maksudnya apa?

Saat semua pengunjung menatap ke arah meja kami, mendadak aku merasa panas dingin. Terlebih Willy dan Juno juga memandangiku dengan ekspresi seolah-olah akulah orang yang dimaksud oleh Dicky.

Aku siap membuka suara tetapi Dicky kembali melanjutkan, "Jadi, kalian lihat cowok berjaket merah marun itu?"

Cukup. Ini Dicky sedang mempermainkanku secara terang-terangan, menunjuk aku dengan menampilkan senyuman lebar di wajahnya. Kontan saja semua pasang mata mengikuti telunjuk Dicky yang mengarah di mana aku berada. Aku meneguk ludah tidak mengerti maksud semua ini.

Juno menginjak kakiku dengan pelan, menyadarkan aku dari ketidakmengertian. Keningku semakin berkerut dalam. Situasi yang membingungkan ini terjawab ketika Dicky menyuruhku naik ke atas panggung. Yang benar saja? Aku disuruh menyanyi di hadapan pengunjung kafe? Bukannya apa-apa, toh aku setidaknya pernah tampil saat acara Pensi sekolah. Hanya saja aku merasa semua ini terlalu mengejutkanku dan terlalu mendadak.

"Kas, sana gih?" Willy merangkul bahuku dengan sedikit mendorong tubuhku agar mau melangkah.

"Gu-gue ngapain ...?" tanyaku terbata.

"Ngelawak! Ya nyanyi, lah," sahut Willy berdecak kesal.

"Ayo, Kak!" Ista mengepalkan tangannya memberi dukungan yang disetujui pula oleh Salsha dan Lili.

Jika aku menolak dengan alasan aku tak berani, mungkin mereka tak akan percaya sama sekali. Akhirnya dengan menarik napas dalam-dalam, kaki ini membawaku untuk melangkah ke arah panggung. Lagi-lagi aku menelan ludah dengan perasaan yang berusaha aku buat santai.

"Dick, ini maksudnya apaan?" bisikku di telinga Dicky saat aku sudah berada di sebelahnya. Tepat di atas panggung. Pandanganku sedikit menunduk saat Dicky tak menggubris perkataanku.

"Okee. Gue mau nyari satu orang lagi." Dicky kembali bersuara lantang. Pandangannya tajam menyapu pengunjung kafe yang tertarik dengan hiburan panggung ini.

Jantungku serasa berdetak lebih cepat. Dicky berdeham lalu melanjutkan, "Satu orang cewek. Kalau bisa yang cukup jago main gitar."

Mataku sontak tertuju ke meja teman-temanku. Otak ini langsung memberi sinyal begitu Dicky menyebut 'cewek jago main gitar'. Bisa kulihat Ista sedang memaksa Salsha untuk mengangkat tangannya, tetapi cewek itu berusaha mengelak.

Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang