Aku memejamkan mata perlahan, merasakan nada demi nada dari petikan gitar yang dimainkan Salsha. Mengembuskan napas dan mengeluarkannya pelan, aku kembali membuka mata. Siap membaca puisi untuk Pak Hilman saat Salsha sudah memberi kode agar aku memulai membaca bait pertama.
Aku berdeham. Memandang Salsha sekilas. Hingga akhirnya mulutku mulai membuka, siap membaca rangkaian kata yang kubuat.
Tiga tahun sudah aku mengenalnya...
Manusia bertekad baja...
Membagi ilmu tanpa balasannya...Bercanda bahkan pernah ada...
Serius selalu untuk membahas bahasa...Seperti kelam saat kumendengar kabar...
Tentang kepergian yang menyudahi kebersamaan...Terima kasih kuucapkan padamu, Pak...
Banyak kisah yang kau kasih...
Melampaui hari...
Tak peduli hujan atau terik matahari...Maafkan kuucapkan padamu, Pak...
Banyak kesalahan yang terucap dari bibir...
Hingga tersesal, seolah menyalahkan takdir...Pak Hilman yang kucinta...
Dengan jasamu yang berharga itu...
Aku berjanji, akan selalu mengukir namamu dalam kalbuku...Embusan angin lembut membuat wajahku yang panas terasa sejuk. Kuperhatikan Salsha yang ternyata terlihat seperti sedang menahan tangis.
"Lo kenapa?" tanyaku khawatir.
Salsha menggeleng. "Engga ... aku cuma sedih aja sama perpisahan ini."Aku menghela napas gusar. Lagi-lagi kata perpisahan menelusuk jiwa-jiwa yang lemah. Seolah ingin menolak saja adanya kata pisah. Namun aku berpikir jika dunia merestui tidak ada perpisahan, mungkin semua manusia tak akan pernah belajar betapa berartinya seseorang, dan tentunya manusia tak akan pernah menemukan orang-orang baru di kehidupannya. Maka dari itu, tetap bersyukur dengan adanya perpisahan, meski sesak, meski perih dan meski lara.
"Ya ... dan pada akhirnya semua akan berpisah," ujarku, menunduk.
Salsha mengusap ujung matanya. "Itu artinya kita juga akan berpisah?"
Aku mendongak, mendapati Salsha sedang menatapku ingin tahu. Ingin rasanya aku berkata bahwa aku tak mau berpisah dengan siapa pun, termasuk dirinya. Tetapi tak mungkin aku mengatakan hal demikian.
"Iya, Sal. Pasti ada saatnya kita berpisah."
"Aku ngga suka perpisahan." Salsha merengut.
Aku terkekeh pelan. "Manusia mana yang suka perpisahan? Karena makna perpisahan itu artinya kita sudah menjalani serangkaian hari secara bersama-sama. Hingga waktu itu tiba ...."
"Cukup, Kak." Salsha memotong kalimatku yang menggantung.
"Ya sudah, kita ngga usah bahas perpisahan."
"Tapi kan kita tampil buat acara perpisahan?" Raut wajah Salsha kembali sendu.
"Ngga apa-apa. Pak Hilman cuma mau pindah ke luar kota. Kita masih bisa bersilaturahmi dengan beliau melalui sosmed." Aku mencoba menghibur Salsha sekaligus hatiku sendiri.
"Iya sih."
"Ehm ... Sal, menurut lo bicara hati ke hati berlebihan ngga sih?" kataku kemudian, mengalihkan pembicaraan, berani menatap Salsha dalam-dalam.
"Engga dong, Kak. Dari hati ke hati itu artinya jujur, kan?"
Aku mengangguk. Baiklah, mungkin kini saatnya aku harus melepaskan beban berat saat sepotong hatiku ini mencintai Salsha, seorang gadis yang sudah dimiliki orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
Teen Fiction(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...