Eps.52 - Hujan Menemani Kepergianmu

199 15 26
                                    

Aku sudah tidak kuat untuk tidak menangis. Bahkan semua penghuni kelas mengeluarkan air mata kesedihan, air mata kehilangan. Ini seperti mimpi, benarkah kami kehilangan Refal secepat ini?

"Anak-anak, kalian tenang dulu!" Pak Hilman berusaha meredakan situasi.

"Kalian jangan ke mana-mana dulu, saya akan mengabarkan ke guru yang lain." Pak Hilman lekas keluar kelas, meninggalkan kami yang berlinang air mata.

Untuk sejenak, seisi kelas seperti dilanda badai yang meluluh-lantahkan hati kami masing-masing. Mungkin, bayang-bayang seorang Refal memenuhi benak kami semua. Belum lama ini kami dan Refal telah mengukir hari penuh kebahagiaan dalam meraih kemenangan.

Tidak lama kemudian Pak Hilman kembali, lalu menyuruh agar kami semua tetap tenang. "Untuk kelas ini, kalian dibolehkan untuk ke rumah duka sekarang. Yang tidak membawa kendaraan sudah ada mini bus yang dicarter. Kalian hanya tinggal menunggu saja," pungkas Pak Hilman.

Aku tak memikirkan betapa cepat respons pihak sekolah sampai-sampai segera menghubungi salah satu sopir mini bus untuk segera kemari.

Dan tanpa menunggu lama, kami segera keluar kelas. Menapaki tangga dengan perasaan kalut. Dalam relung jiwaku, aku berkata bahwa Tuhan memang lebih menyayangi Refal sehingga dia harus cepat pergi dahulu meninggalkan kami semua.

Sesampai di parkiran, aku bersama teman-teman langsung tancap gas menuju rumah Refal. Seperti yang diketahui beberapa teman akan menunggu mini bus yang sedang dalam perjalanan.

Air mataku tumpah tak terkira, kediaman rumah Refal tampak ramai oleh para pelayat. Lantunan suara-suara yang mengumandangkan surat Yasin terdengar dari luar.

Kami masuk ke dalam rumah, mengedarkan pandangan lalu mendapati tubuh kaku Refal yang sudah terbalut kain kafan, terbujur di atas tikar di lantai. Dan benar, kini Refal telah pergi, menutup mata untuk selamanya. Meninggalkan kami para sahabat, meninggalkan keluarga serta meninggalkan dunia. Aku benar-benar tak percaya ini, Tuhan.

Dengan tertatih, kami berjalan mendekati jenazah, lalu ayah Refal yang sedang membaca doa-doa di dekat Refal, segera membuka kain yang menutup bagian wajah. Untuk terakhir kalinya, kami memandangi wajah sahabat kami itu, sahabat yang pernah mengukir prestasi, dan sudah tak akan kembali. Tuhan, rasanya begitu sakit melihat semua ini.

"Selamat jalan, Kawan. Di sini kita hanya bisa berdoa pada Yang Maha Kuasa agar lo tenang di alam sana." Aku mencoba menyentuh wajah Refal yang terlihat tenang.

"Lo ... lo ... perjuangan lo ngga akan pernah kita lupakan, Fal. Selamat jalan," timpal Willy di sebelahku.

"Kenapa lo pergi ninggalin kita secepat ini sih, bro?" kata Endra.

Kuperhatikan ibunya Refal terlihat tampak tegar, menurut bisik-bisik warga, beliau sempat pingsan di rumah sakit, tapi tak lama segera siuman. Bang Novan yang mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan Refal, malamnya langsung meninggalkan Bali, hingga sekarang terlihat sedang terisak sambil membaca Yasin.

Aku menoleh ke depan pintu. Mendapati Ista bersama teman-temannya sedang tak kuasa menahan tangis. Air mata Ista tampak berlinang membasahi wajahnya. Aku teramat sangat yakin, hati Ista bagaikan ditusuk ribuan jarum tajam. Sakit, juga menyesal dengan perbuatannya terhadap Refal yang sudah disakitinya lebih dari satu kali.

Dicky menyampaikan bela sungkawa terdalam melalui pesan chat. Dia meminta maaf tidak bisa ikut serta prosesi pemakaman Refal karena hari ini Dicky dan semua karyawan kafe Empat Duapuluh sedang berwisata. Namun, Dicky mengatakan bahwa acara tersebut jadi sangat tidak menyenangkan saat mengetahui sahabat karibnya telah pergi.

Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang