Malam tak tergantikan, dengan beribu bintang yang seolah hinggap di langit-langit malam. Pesonanya membuat sebagian insan manusia bersyukur akan anugerah Tuhan.
Kafe Empat Duapuluh, malam hari pukul 19.49 WIB. Aku berjalan dengan penuh kagum melihat dekorasi kafe yang cukup elegan, dengan lampu-lampu gantung, tata pencayahaan yang pas, tidak terang namun tidak juga redup. Serta alunan musik live masa kini yang dinyanyikan seorang cowok di atas panggung menambah kesan ramai dalam kafe tersebut.
Ini baru pertama kali aku menginjakkan kaki di Kafe Empat Duapuluh. Dengan adanya Dicky sebagai koneksi, kami bisa memesan satu nomor meja untuk 6 orang. Ya, sebelumnya pernah kukatakan bahwa Dicky bekerja di kafe sebagai salah satu pramusaji atau waiters.
Setelah kami duduk pada kursi masing-masing, seorang pramusaji cewek berjalan menghampiri kami. Aku sedang memperhatikan cewek berkucir satu itu—seperti sudah pernah melihat—ketika Willy yang duduk di sebelahku melambai ke arahnya.
"Oh ... pantesan tadi kaya kenal. Ternyata bener itu elu, Wil," kata cewek tersebut sambil menatap Willy. Ya Tuhan aku baru sadar bahwa dia adalah kakak Willy yang juga kerja di sini. Namanya Kak Risma, dia adalah seorang cewek yang menurutku tangguh dan cukup ramah dengan teman-teman Willy seperti kami.
"Sekali-kali dong makan enak," sahut Willy sambil mengambil buku menu di tangan kakaknya.
Aku menoleh ke arah Juno yang ada di sebelah kananku lalu berbisik, "Makan enak di kafe biasanya ngga bikin kenyang."
Juno sudah akan bereaksi ketika Ista bersuara, "Kak, minta buku menunya satu lagi ya."
"Siap, Kakak cantik," sahutnya dengan ceria. Sebelum berbalik arah, Kak Risma memandangiku dan Juno bergantian sambil mengulum senyum.
Aku dan Juno hampir bersamaan menganggukkan kepala. Lalu aku dan Juno sama-sama saling lirik sinis sampai akhirnya aku putuskan untuk melihat daftar menu yang sedang dibaca Willy.
Tak lama kemudian, Dicky datang dari meja yang tak jauh dari kami dengan wajah sumringah lebar. "Hai man, maaf tadi agak sibuk jadi baru bisa nyapa kalian. Gimana, gimana, udah pesen belum?" tanya Dicky menatap kami.
"Santai aja Dick, kita juga belum lama kok," tukasku setelah Dicky menyalami aku, Willy dan Juno. "Dan ini kita baru mau pesan," timpal Willy.
Dicky mengangguk lalu tangannya bersedekap ketika menyadari ada tiga cewek di depan kami.
"Kenapa, Dick?" tanya Juno.
"Kirain berenam buat cowok semua. Tahunya ... triple date." Dicky terkekeh.
Aku sedikit tidak enak mendengar penuturan Dicky, sebagai pengalihan topik aku segera memerintahkan Dicky untuk berkenalan dengan Salsha, Ista dan Lili.
"Aku Lili." Saat tangan Lili berjabat dengan tangan Dicky, aku bisa merasakan ada ketertarikan di sorot mata Dicky. Bukannya aku ahli membaca yang seperti itu, hanya saja wajah Dicky saat menatap Lili pernah kualami saat aku menatap orang yang kusukai yaitu tatapan terpesona.
Beberapa saat kemudian, Kak Risma kembali ke meja kami sambil berdeham membuat jabatan tangan Dicky lepas seketika.
"Oh, sori ... sori ...," ujar Dicky salah tingkah.
"Ngga apa-apa kali, Kak. Kita semua di sini ngga ada yang pacaran. Kita semua teman. Iya, kan?" kata Ista seraya membuka-buka buku menu setelah sebelumnya mengucap terima kasih.
Dicky mengangguk takzim lantas berkata, "Tapi nih ya, mengutip kata-kata dari bahasa Jawa, witing tresno jalaran soko kuliner. Cinta berawal karena makanan ... soalnya dibayarin!" Dicky tertawa pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perpisahan Kala Hujan [Completed] ✔
Teen Fiction(𝐓𝐫𝐮𝐞 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲) Inilah kisah kami yang sederhana. Tidak hanya tentang baper karena cinta, tapi juga baper karena persahabatan. Tidak hanya tentang selaksa peristiwa yang membuat tawa, tapi juga perjuangan serta air mata. Inilah kisah kami yang...