"Kamu yakin?"
Entah sudah keberapa kali Ayu menanyakan hal itu pada Kana. Setelah selesai membantu Kana memakai dasi sekolahnya, Ayu beralih merapihkan rambut Kana. Kana sendiri diam saja, ia memangku semangkuk bubur sebagai sarapan paginya. Dengan malas sesekali ia menyuapkan bubur itu ke mulutnya dan mengunyahnya pelan.
"Nak ga usah sekolah dulu ya?" Ujar Ayu, ia mengambil alih bubur dari tangan Kana lalu menyuapi Kana, ia tidak sabar karena Kana yang makan dengan sangat lambat.
"Kana gak papa bunda." Sahut Kana.
"Gak papa ya? Yang kemaren tepar siapa? Trus bikin panik semua orang." Bukan Ayu yang menjawab, melainkan Tio yang entah dari kapan berdiri menyender di pintu dengan kedua tangan disilangkan di depan dada.
Kana menelan cepat bubur di mulutnya, "Yang penting sekarang gak papa." Ucapnya kemudian.
Kana beranjak dari duduknya, memakai jaketnya dan menyambar tas nya yang ada di kursi, "Kana berangkat, nanti kalau uti udah bangun tolong bilangin Kana udah berangkat. Dan Kana gak papa." Kana meraih tangan Ayu lalu menciumnya. Tanpa menunggu jawaban atau persetujuan dari Ayu, ia berjalan melewati Tio yang diam berdiri.
"Kanaka," panggil Ayu, ia sudah berdiri ingin menghampiri Kana namun Tio menahannya.
"Biarin aja bun. Kana udah dewasa," Tio menoleh pada Kana.
"Seharusnya Kana bisa pegang omongan dan janjinya, buat baik-baik aja! Toh sakit dia juga yang rasain." Setelah mengakhiri kalimatnya dengan penuh penekanan, Tio keluar, berjalan acuh mendahului Kana yang masih di depan pintu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Kana hanya bisa diam sambil memandangi punggung kakaknya yang sudah menjauh. Detik itu juga Kana sadar, bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.
🌙🌙🌙
Jika disuruh untuk jujur dan mengatakan yang sebenarnya, maka Kana akan menjawab lelah. Dia lelah dengan semua yang ia rasakan. Kana kadang berfikir untuk apa dia hidup jika terus merasakan sakit, untuk apa dia hidup jika terus merepotkan orang lain dan membuat mereka meneteskan air mata hanya karenanya.
Jika Kana bisa menyalahkan takdir, maka Kana akan menyalahkan takdir yang telah membawanya pada kenyataan hidupnya. Tapi takdir tidak pernah salah. Kana benci dengan takdir yang membuatnya menjadi manusia lemah yang tidak berguna. Tapi Kana juga berterimakasih pada takdir Tuhan yang telah memberikan keluarga dan orang-orang baik di sekelilingnya.
Kana ingin menyerah dan mengakhiri semuanya, ia terlalu lelah. Namun Kana juga masih ingin terus bersama orang-orang yang ia sayangi.
"Kana lo ngapain di sini?"
Kana menoleh, melihat Ale yang berjalan menghampirinya. Kana juga tidak menyalahkan takdir yang lagi-lagi selalu mempertemukannya dengan Ale. Kana hanya takut ia hanya bisa menyakiti Ale tanpa pernah membahagiakannya.
"Gak ada guru tau di kelas. Bete, bener elo deh mending ke sini," ujar Ale yang sudah duduk di samping Kana.
Kana mengambil ponselnya dari saku celananya, menyalakannya, dan melihat notifikasi yang masuk. Hanya ada notifikasi dari bunda dan ayahnya tanpa ada notifikasi satu pun dari kakaknya. Kana menghelas nafas, dadanya mulai terasa sesak saat itu juga.
"Kana lo ga suka gue di sini ya? Gue pergi aja deh," Ale berdiri ingin meninggalkan Kana, namun Kana memegang tangan Ale dan menatap Ale lekat.
"Temenin gue."
Ale terpaku dengan apa yang Kana ucapkan, merasa tidak percaya, Ale hanya diam pada posisinya dengan satu tangan yang masih Kana genggam. Sampai akhirnya Kana melepaskan genggamannya dan berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Can't [Complete]
Teen FictionIni hanya kisah Kanaka di dunia bersama para bintangnya.