A Memory

5.8K 413 98
                                    

Anak laki-laki berusia sepuluh tahun terlihat terburu-buru saat melepas sepatu serta kaus kaki yang ia kenakan. Senyuman tak luntur di bibir tipisnya. Anak itu segera berlari setelah menyimpan sepatu sekolahnya di rak sepatu. Ia berlari menaiki anak tangga dengan semangat karena sudah tidak sabar ingin menemui seseorang.

"Mas Tio langsung ganti baju ya!"

"Iya bun!" Tio balas berteriak saat sudah berada di anak tangga paling atas.

Di depan kamar yang bersebelahan dengan kamarnya sendiri, Tio berdiri sesaat. Pintu kamar tersebut tidak tertutup rapat sehingga Tio dapat mengintip ke dalam. Terlihat adiknya yang sedang tengkurap di lantai beralaskan karpet dengan buku-buku serta alat tulis lainnya berserakan di sekelilingnya.

Tio tersenyum lebar sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar adiknya tanpa mengganti seragam merah putihnya terlebih dahulu, masa bodoh jika sang bunda akan mengomeli-nya, "Adek...mas Tio pulang."

Yang dipanggil adek pun langsung mendongakan kepalanya melihat Tio, "Lama pulangnya."

"Tadi aku piket kelas dulu." Sahut Tio yang sudah duduk bersila di samping Kana. Kana masih pada posisi awalnya, tengkurap sembari sibuk dengan buku gambar di depannya.

"Gimana belajarnya? Tadi adek belajar apa sama ibu guru?" Tanya Tio sambil mengelus rambut Kana. Setiap pulang sekolah Tio selalu mengajukan pertanyaan yang sama pada Kana, karena Kana tidak-lah bersekolah di sekolah formal seperti dirinya. Kana homeschooling, sehingga dia belajar di rumah bersama guru khusus yang datang ke rumah.

"Perkalian sama pembagian." Jawab Kana dengan logat berbicara-nya yang khas membuat Tio sangat gemas.

"Mas penghapus adek jatuh ke bawah kasur, ga bisa ambilnya." Adu Kana, ia sudah merubah posisinya menjadi duduk menghadap Tio. Tangan kanannya memegang crayon sedangkan yang kiri memegang buku gambar.

"Mau pinjem punya aku dulu? Nanti minta tolong ayah ambilin penghapus kamu." Tawar Tio.

Kana mengangguk, "Nanti pinjem ya?"

Tio mengusak rambut Kana melampiasnkan kegemasan-nya, "Adek gambar apa?" Tio mengambil alih buku gambar Kana dan melihat gambar karya Kana.

"Gambar kita semua."

"Siapa aja?" Tanya Tio, sejujurnya Tio sudah tahu siapa saja yang Kana gambarkan. Sudah jelas itu gambar anggota keluarganya, karena Kana menggambar empat orang yang sedang bergandeng tangan sambil tersenyum. Satu di antara empat orang tersebut adalah perempuan. Tio hanya iseng.

"Ini ayah, adek, mas Tio," Kana menunjuk satu persatu orang dalam gambarnya.

"Yang paling cantik ini bunda!"

"Bagus banget gambarnya." Puji Tio, senyumnya semakin mengembang. Ia bangga memiliki adik seperti Kana. Meski tidak dapat dipungkiri fakta sebenarnya menyakitkan, namun Tio tetap tidak pernah lupa untuk mensyukuri apa yang ada di hidupnya. Suka maupun dukanya. Dipertemukan dengan orang yang kini berstatus sebagai orang tua angkatnya adalah salah satu hal yang membuat Tio tidak pernah lupa untuk bersyukur.

"Dek,"

"Apa," Kana bergumam, ia masih sibuk memperindah gambar di pangkuannya.

"Jangan sakit-sakit terus ya, mas Tio nanti sedih. Mas Tio sayang banget sama adek." Ujar Tio. Tio tidak bisa menggambarkan sebesar apa rasa sayangnya terhadap Kana, yang pasti itu sangat besar.

"Kana ga mau sakit mas, tapi sakitnya terus-terus." Kana berucap seraya memegang dadanya yang selalu menjadi pusat rasa sakitnya.

Tio menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Kana, sedikit membungkuk dengan tangan terulur mengelus dada Kana, "Pak jantung jangan nakal terus, kasian adek aku kesakitan." Ucap Tio.

I Can't [Complete] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang