28. Penyesalan

7.7K 653 84
                                    

Tio terduduk lemas di kursi dekat ruang ICU yang sangat ia benci. Penampilannya sama sekali tidak terlihat baik, ia terlihat sangat berantakan dengan terus menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya.

Tio tak tahu harus berbuat apa. Satu hal yang sangat ia benci kembali terjadi. Dulu, Tio tidak bersedih dan menangis saat tahu kenyataan bahwa orang tua kandungnya tidak menginginkan kehadirannya. Tapi hal ini berhasil menhancurkan hidup Tio dan membuatnya berada di titik kesedihannya.

Kana kritis.

Kalimat yang benar-benar Tio benci. Kalimat yang sama-sekali tidak ingin Tio dengarkan, kembali harus ia dengar. Ingin rasanya Tio memutar waktu dan mengulang kejadian pagi itu.

Tio meremas rambutnya kalap. Bodoh, ia menganggap dirinya sangat bodoh. Dan karena kebodohannya itu semua ini terjadi. Semua bagai petir yang menyambarnya di siang bolong, terlebih kala dokter mengatakan jantung Kana sempat berhenti berdetak sebelum dinyatakan kritis dan koma.

"Argghh!" Tio mengacak rambutnya kasar.

Ayah dan bundanya sudah berada di dalam melihat kondisi Kana. Tio sendiri masih belum siap melihat Kana yang terus memejamkan mata. Tio lebih baik melihat Kana yang menampilkan wajah datarnya ketimbang melihat Kana dengan mata terpejam dan terbaring tak berdaya.

"Mas." Tio menoleh, ia meneguk salivanya. Lupa bahwa ia tidak sendiri, ada Ale yang duduk dengan tubuh bergetar dan terlihat jelas bahwa Ale sedang ketakutan.

"A..Ale, astagfirullah." Tio mengusap wajahnya.

"Gue lupa ada lo, pikiran gue ga bisa terlepas dari Kana, maaf le." Tio melepas jaketnya dan ingin memakaikan pada Ale. Ale masih menggunakan seragam sekolah lengkap dan terlihat sama berantakannya dengan dirinya.

"Lo sekarang pulang ya, gue ga bisa nganter, ayo gue cariin taksi."

Ale menggeleng, "Kana kenapa mas?"

"Sakit." Hanya itu yang bisa Tio katakan sebagai jawaban, Tio tidak salah. Memang kenyataannya Kana itu sakit, bahkan Tio telah menambah luka diantara rasa sakit yang Kana rasakan. Dan membuat Kana  jauh semakin sakit.

"Sakit?" Ale menarik napas dalam, "Sakit apa? Mas Tio mau bilang Kana sakit karena kecapean? Mas sama aja kaya Kana, yang selalu bilang baik-baik aja, gue bukan anak kecil mas yang bisa dibohongin dengan kata-kata gitu aja!" Air mata Ale lolos begitu saja membasahi pipi putihnya. Ia hanya butuh jawaban, bukan kata-kata dusta yang terus membawanya pada rasa salah.

Tio memegang pundak Ale, "Le Kana gak papa, dia begini bukan karena lo."

Tapi karena gue. Lanjut Tio dalam hatinya.

"Gak papa? Kritis, detak jantungnya sempat berhenti, dan sekarang kita nungguin dia di depan ruang ICU. Apa masih bisa jadi bukti kalau Kana itu baik-baik aja?!"

Hening.

"Kana sakit jantung."

"Kelainan jantung sejak lahir."

Ale menggeleng tidak percaya, ia membekap mulutnya sendiri sambil terisak. Kalimat yang benar-benar tidak dapat ia percayai. Sosok dingin yang terlihat kokoh seperti Kana menderita sakit separah itu, bahkan sejak lahir? Lagi-lagi Ale menggeleng. Bahkan Kana tidak terlihat seperti orang sakit menurut Ale.

"Kana emang selalu sok kuat, orang yang baru kenal sama Kana gak akan percaya kalau Kana sakit. Tapi ini kenyataannya le." Ujar Tio sendu.

Maaf dek. Tio telah membocorkan satu rahasia besar di antara rahasi-rahasia Kana lainnya. Bukan tanpa alasan Tio mengatakan yang sesungguhnya pada Ale, tapi menurut Tio, Ale berhak tahu tentang ini. Tinggal biarkan rahasia yang belum terungkap Kana sendiri yang mengungkapkannya pada Ale.

I Can't [Complete] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang