Brak!
"Aww."
"Kamu obatin dulu pipi kamu."
Dengan lancang seseorang yang melempar kotak berisi obat-obatan langsung duduk saja disampingnya. Drexa. Ia mndengus saat sang kakak tiri hanya mlihat tanpa membantu.
"Levin, lo bisa gak sih lembut dikit sama gue?!" galaknya.
"Sorry, gue cuma bisa lembut sama cewek."
"Anjirr, terus gue ap--"
"Brisik."
Drexa lagi-lagi mendengus, Levin sungguh tega.
Levin segera mengambil kotak p3k yang dilemparnya. Membantu adiknya membersihkan lukanya.
"Lev?"
"Hm?"
Levin sangat telaten membersihkan luka Drexa.
"Kenapa lo masih menghindar dari gue?"
Pertanyaan tiba-tiba Drexa membuat aktivitas Levin terhenti. Iris mata sapir itu, menatap Levin sendu.
"Apa karena lo malu punya adik yang extra troublemaker kayak gue?"
Malu? Ayolah. Siapa yang akan malu memiliki adik yang nyaris begitu sempurna.
"Apa lo malu karena gue pembangkang dan aneh gini?"
Itu bahkan tak menjadi masalah Levin.
"Atau,"
Gadis itu terlihat menghela nafas sejenak,
"Karena gue yang kayak boneka gini?"
Ah ya. Jika dilihat-lihat, hampir setiap orang yang melihatnya seakan seperti melihat boneka berjalan. Bagaimana tidak, dengan kulit yang seputih porselen dan wajah yang terpahat seakan tanpa cela bahkan tak jarang menatap Drexa hina.
Terlalu iri, pada ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna.
Tapi bagaimana bisa Drexa berpikir seperti itu?
"Xa?"
"Kalau iya, ini bukan kemauan gue Lev."
Drexa menunduk.
Levin mengangkat lembut wajah Drexa. Mendekatkan wajah mereka dan memegang tengkuk Drexa.
Hingga mata Drexa terpejam saat merasakan benda kenyal dan basah menempel pada bibir ranumnya.Levin menciumnya lembut. Hanya menciumnya. Tetapi tak lama melepasnya.
"Please Lev, jangan mainin gue kayak gini."
Levin menariknya kedalam dekapannya. Memeluknya dengan sayang.
"Sorry baby." lirihnya.
Levin selalu saja begini. Memilih diam dan mematahkan hati Drexa sampai ratusan kali.
Setelah melepaskannya, ia memandang leher jenjang Drexa yang mengukir namanya dan terlihat mengerikan. Ia mengelusnya hati-hati tetapi mampu membuat Drexa meringis.
"Kayak gini Xa."
Levin menarik nafas berat dan menghembuskannya cepat.
"Kayak gini yang bakal terjadi. Hanya kesakitan. Kesakitan yang sama kayak yang lo rasakan saat ngukir nama gue disini." Ia masih mengelus leher Drexa.
"Lev?"
"Kesakitan yang sama sebagaimana lo mencintai gue."
"Lev?"
"Shhh."
Levin tersenyum manis, mengacak surai lembut Drexa pelan.
"Lev please."
"So, stop ini semua sayang. Karena mencintai gue, sama dengan rasa sakit."
Kemudian Levin beranjak pergi dan hilang di balik pintu.
Meninggalkan Drexa yang entah untuk keberapa kalinya patah.
Diantara dua jurang pilihan.
Antara melepaskan dengan gila, atau bertahan dengan rasa mematikan.
Mereka terikat.
Hubungan yang mengatasnamakan persaudaraan.
Drexa tak mampu.
*******
Sekelam malam. Sekelam hatinya saat ini. Bukankah begitu perih saat ditinggalkan dengan luka berlubang yang seseorang ciptakan.
Disaat kenangan mampu mengusik jiwa, membuat ia semakin hari bertambah gila.
Iris itu bergerak, menatap batu nisan bertuliskan Shefa Arla. Sang kekasih yang kenangannya selalu mengikat jiwa dalam rasa bersalah.
"Shef?"
"Gue tahu lo gak bakal denger ini. Tapi gue gak akan bosen bilang kalau gue cinta mati sama lo."
"Gue cinta sama lo."
Setelah meletakkan buket bunga teratai kesukaan sang kekasih, ia beranjak pergi. Tak peduli walau setiap harinya, hal sia-sia yang ia lakukan tak mampu membuat Shefa kembali.
Terlalu memyakitkan saat harus menerima kenyataan.
*******
Drexa meringis.
Memandangi wajahnya yang entah kenapa baru ia sadari terlihat mengerikan. Apa wajah ini yang orang lain irikan? Drexa tak habis pikir.
Ia tak tampak seperti manusia.
Kemudian ia melirik kearah bahunya. Ruam biru dan bengkak sangat kentara.
"Levin, gak ada rsa sakit yang lebih berwarna saat gue bersama lo." gumamnya.
Drexa, sungguh membenci ibunya. Ibunya yang telah membuat Drexa tak bisa memiliki Levin seutuhnya.
"Lev, sekalipun gue harus ngelawan kodrat, gue bakal terima. Gue bahkan rela mati demi lo." tambahnya. Tatapannya begitu kosong.
"Anjing!" Serunya kaget saat tiba-tiba sebuah tangan besar melingkari perutnya yang ramping. Menumpukan kepalanya diceruk leher gadis itu.
"Kasar."
Jantungnya berpacu cepat saat ternyata itu adalah Levin.
"Lev? Lo ngangetin gue."
"Hm."
"Lo tahu?"
Drexa menggeleng pelan saat suara Levin berbisik ditelinganya begitu dekat.
"Lo buat kesalahan lagi."
"Hah?"
"Bagaimana jika kita membicarakan tentang surat peringatan itu?"
Drexa melemas, "But, you really know me."
"Yeah baby, more than anyone."
"And then, please Lev, that's not the problem."
"Darling, i can't let you do something wrong. You're always gonna wrong."
"But Lev,---"
"Udah Xa, lo harus nerima hukuman dari gue." Levin melepas pelukannya. Beralih menatapnya sambil bersidekap dada.
"Fine! Gue harus apa? Jungkir balik dipohon toge?"
Levin terkekeh geli, ia menyeringai "Gak. Lo cuma perlu nginep dikamar gue."
Drexa mengernyit, berpikir sebentar, sebelum tersenyum lebar.
"Jadi, ini hukuman atau keuntungan?"
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
AnDREaXA
Teen FictionJika Tuhan menanyakan dua hal termustahil yang ingin Drexa minta, Drexa hanya ingin Levindra kembali menjadi kekasihnya. Lalu melenyapkan eksistensi Gabriel untuk selamanya. Yang Levindra tahu, semenjak orang tua mereka memutuskan menikah, Drexa mem...