Jika ditanyakan siapakah yang mampu melelehkan hati Drexa, dia hanya Levindra seorang.Parasnya memang mampu membuat wanita manapun jatuh cinta, termasuk Drexa sendiri.
Perhatiannya pada Drexa, yang notaben seorang mantan dari Levindra-dengan status adik tiri sekarang, rupanya tak mampu menghapus habis perasaan Drexa padanya.
Ia jatuh terlalu dalam dan selalu membiarkan Levin sebagai poros dunianya.
Rasa yang menyakitkan, namun juga begitu menyenangkan.
Rasa mematikan, tetapi mampu membuat Drexa bertahan.
Bagai racun, namun juga penopang.
"Levin?"
Drexa menyapa didepan pintu kamar Levin yang sepertinya tengah mengerjakan banyak pr.
Levin mendongak, menatap Drexa, lalu tersenyum manis. Mempersilahkan Drexa masuk.
"Masuk aja Xa."
Drexa melangkah ragu dan perlahan, duduk disofa kamar Levin, hanya memperhatikan Levin yang sedang berkutat dimeja belajarnya.
"Lo sibuk ya?"
"Iya. Tugas untuk acara pensi ultah sekolah harus gue rancanain."
"Iya taudeh gue lo ketos."
"Lo butuh sesuatu Xa?"
"Kalau lo sibuk nanti aja." Drexa memaksakan senyumnya.
"Enggak Xa, sekarang aja." Ujar Levin lalu mengabaikan pekerjaannya begitu saja dan duduk disamping Drexa. Seperti biasa, menatap dalam mata Drexa dan membuatnya gugup.
"Lo mau ngomong apa?" Tanyanya lembut.
Drexa memalingkan wajah, berusaha mengontrol detakan jantungnya yang menggila. Setelahnya, kembali menatap Levin dengan tajam.
Lagi-lagi, hanya untuk membuatnya agar tak terlihat salah tingkah.
"Tadinya gue mau ajak lo ketempat biasa, tap----"
"Maaf Xa, bentar dulu."
Levin segera melangkah keluar, mengangkat dering telepon yang tiba-tiba berbunyi dan begitu menganggu.
Drexa menghela nafasnya. Disaat ia berpikir Levin memprioritaskan dia lebih dari apapun juga, Drexa justru tak sadar kalau harapannya tak lebih dari sekedar angan.
"Papa nelfon. Katanya kita disuruh siap-siap. Mau ketemu rekan bisnis papa."
"O--oh."
Levin kembali duduk disamping Drexa, menatapnya.
"Lo tadi mau ngomong apa?"
"Tentang...."
Drexa menunduk dalam.
"Gue mau pindah kesekolah lo aja."
"Levin mengernyit heran, "Loh, kenapa?"
Drexa makin menunduk dalam. Tak mungkin ia mengatakan bahwa alasannya adalah karena ia ingin selalu dekat dengan Levin. Meski menjadikan Levin sebagai obsesi, nyatanya Drexa lebih dari sekedar sadar dimana posisi ia sesungguhnya.
"Ka....karena, karena temen gue sekolah disana." Ia mencengkram ujung bajunya erat saat mengingat bahwa Alana setahunya sekolah ditempat yang sama dengan Levin. Dan ia sedang menjadikan nama Alana sebagai tamengnya.
Levin mengangkat dagu Drexa lembut, memaksanya menatap mata Levin.
"Kenapa harus ijin dulu? Lo gak perlu ijin gue untuk melakukan sesuatu yang lo mau."
Drexa terbengong, tanpa sadar membuka mulut dan berkata,
"Termasuk mencintai lo?"
Meski sering mendengar dari bibir Drexa pernyataan itu, nyatanya kata-kata yang menyirat banyak makna itu selalu mampu membuat Levin membeku.
Ia menelan ludah, menjilat bibir yang mendadak kering. Berusaha menahan rasa, yang sebenarnya juga menyiksa diri Levin.
"Xa, kenapa lo harus selalu patah karena gue?" Lirihnya.
Drexa mengerjap, tatapan tajamnya, menatap sayu namun kian dalam, menyiratkan bahwa gadis itu sebenarnya sudah lelah dan diambang batas.
"Karena.........itu elo."
"Sayang?"
Mereka terkejut saat tiba-tiba seseorang berdiri diambang pintu.
Hari ini papa atau lebih tepatnya papa tiri Drexa dan mamanya pulang dari perjalanan bisnis mereka. Wanita paruh baya dengan rambut coklat bergelombang itu terlihat begitu cantik dengan dress merah gelapnya. Mata yang sama tajamnya dengan Drexa itu melengkung akibat senyuman manisnya.
"Mama?"
Bukan Drexa yang menyapa, tapi Levin. Nara, mama mereka mendekat, membuat degupan jantung mereka kian membeludak.
"Kalian kenapa? Serius banget kalian?" Sapanya ramah.
"Mama sejak kapan disitu?" Tanya Drexa ketus tanpa memperdulikan perkataan mamanya.
Nara tersenyum, sudah mulai terbiasa dengan sikap anak kandungnya.
"Drexa, jangan gitu." Peringat Levin.
"Gapapa sayang." Ujar Nara lembut.
"Mama kapan pulang?" Tanya Levin sopan.
"Tadi. Tapi baru aja kesini dan liat kalian tatap-tatapan. Kalian keliatan serius banget."
Mereka diam-diam menghela nafas lega. Untung mamanya tak mendengar percakapan mereka.
"Mama bisa aja." Kekeh Levin dibuat-buat.
Nara mengangguk, kemudian kembali melanjutkan.
"Nanti malem mama sama papa akan mengajak kalian kesuatu tempat. Kalian harus ikut.""Drexa gabisa ma." Ujar Drexa tegas.
Nara tersenyum manis, "Setidaknya kalau kamu gak mau ikut karena mama, kamu ikut demi Levin ya sayang."
Drexa mengernyit. Tak mengerti perkataan Nara. Levin pun sama bingungnya.
"Apa maksudnya?"
"Nanti juga kamu tahu. Mama ingin lihat Andreaxa pakai dress yang mama sudah belikan. Kanu pake ya sayang."
Drexa menggeleng kuat, "Hah? Apa jadinya Drexa pake dress?! Gak mau!" Tolak Drexa mentah-mentah.
"Udah ma, Drexa pasti mau kok. Ini biar Levin yang urus." Ujar Levin menenangkan.
Nara tersenyum. "Mama tunggu ya kalian." Kemudian Nara keluar dari kamar.
Levin menatap Drexa tajam, "Jangan ngomong kayak begitu ke mama lagi atau papa, Drexa. Gue gak suka." Tekannya.
"Bodo amat."
Levin menghela nafas, Drexa sukar diberi tahu. Ia keras kepala dan akan tetap seperti itu.
"Kalau begitu, lo harus pakai dress yang mama beri buat lo."
Drexa menggeleng kuat lagi, "No! Not Absolutely! Gue bakal keliatan kayak wewe gombel."
Levin mencubit pipi Drexa gemas, "Lo bahkan terlalu cantik untuk jadi wewe gombel sayang."
Drexa menepisnya.
"Gue gak mau Levin!"
"Yaudah, lo gak bakal gue ajak ngomong selama setahun!"
Drexa membelalak, "Apa-apaan lo! Ga adil banget! Gue ga---"
"Demi gue sayang." Pintanya dengan memelas.
Drexa menghela nafas panjang, ia mengangguk pasrah. Ia tak kuasa jika Levin sudah seperti ini.
Levin sendiri tersenyum puas. Ia mengacak rambut Drexa gemas yang hanya dibalas oleh kepasrahan gadis itu.
*****
Happy Reading Guys:)
KAMU SEDANG MEMBACA
AnDREaXA
Teen FictionJika Tuhan menanyakan dua hal termustahil yang ingin Drexa minta, Drexa hanya ingin Levindra kembali menjadi kekasihnya. Lalu melenyapkan eksistensi Gabriel untuk selamanya. Yang Levindra tahu, semenjak orang tua mereka memutuskan menikah, Drexa mem...