19: Alone

2K 98 0
                                    


Levin berdiri didepan pintu utama tepat setelah bunyi deru mobil itu menghilang dan melihat adiknya itu turun.

"Lo sama siapa pulang?"

Nada datar Levin membuat langkah kaki Drexa terhenti. Ia menoleh sesaat sebelum kembali berjalan.

Levin mendengus, dia menarik bahu Drexa kuat membuat Drexa terpaksa berbalik kearahnya dan meringis karena tarikan kuatnya.

"Lo kenapa diem? Sariawan?" Sinisnya.

Ketahuilah, dari sekian banyak hal yang bisa Levindra abaikan, ia sama sekali tak tahan jika tak berbicara pada Drexa seharipun.

Levindra meneliti Drexa dari atas sampai bawah, hingga pandangannya terhenti pada betis Drexa yang tak lagi terbalut kaos kaki. Karena setelah Gabriel melepasnya, Drexa hanya kembali memakai sepatunya.

"Kaki lo kenapa?"

"......"

Tak mendapat sahutan apapun,
Levin berjongkok, membuat Drexa mundur beberapa langkah.

Levin menarik kaki Drexa pelan, namun reaksi selanjutnya Levin membuat Drexa meringis.

Bagaimana tidak, Levin membuka balutan lukanya begitu saja.

Levin membelalakan matanya, saat melihat luka yang ia yakini sebagai luka tusukan.

Ia berdiri, mencengkram kuat bahu Drexa.

"Siapa yang buat lo kayak gini?" Tanyanya dengan nada rendah menakutkan. Matanya memancarkan kilatan api kemarahan.

Tetapi Drexa justru tertawa guyon, bersiul dengan tak tahu situasi.

Dan membuat Levin semakin meremas kuat bahunya.

Percayalah, apa yang Levin lakukan sekarang akan membuat bahunya membiru.

"Uwah, siapa yang buat lo kayak gini." Drexa menirukan nada bertanya Levin, kemudian kembali tertawa renyah. Seakan menganggap apa yang Levin lontarkan adalah sesuatu hal yang memang pantas ditertawakan.

"Andreaxa, i'm serious."

Orang bodoh pun bahkan bisa tahu kalau kali ini Levin benar-benar serius. Dan mengingat itu lagi-lagi  membuat Drexa ngakak.

Sama sekali tak merasa takut.

Dasar.

Levin yang terlanjur tak bisa mengontrol emosi, mendorong Drexa ketembok dengan kasar, mengunci celah agar Drexa tak bisa melarikan diri.

Dan untuk kesekian kalinya, Drexa benar-benar ingin ngakak sambil gulingan di aspal.

"Andreaxa...." Panggilnya rendah.

".......Jangan mancing emosi gue."

Drexa justru tertawa hampa menyorot Levin menghina.

"Jangan mancing emosi gue. Hahaha."
Lagi, Drexa mengikuti perkataan Levin dengan mengejek, sangat-sangat tak tahu diri.

Bugh!

Tinjuan keras Levin pada tembok disampingnya, membuat tawa memalukan Drexa terhenti. Levin menatapnya tajam.

"Jangan biarin gue nyakitin lo Andreaxa. Jangan paksa gue."

Drexa tersenyum ramah. Menyorotnya lugu.
"Oh ya? Kenapa?"

Levin membuang muka, pertahanan yang ia bangun bisa hancur hanya karena melihat sepasang mata indah itu menatapnya seolah minta perlindungan.

"Lo bahkan gak punya alasan buat mengkhawatirkan gue. Jadi, lo gak berhak tanya apapun tentang gue. Just shut your fucking mouth up." Ujarnya sangat tenang.

"GUE GAK BERCANDA ANJING!"

"Uwaww, kok ada rasa sakit-sakitnya gimana gitu ya."

"Hentikan Drexa!"

Levin melepas kunciannya kasar, menunjuk Drexa dengan tersulut.

"Terserah lo! Gue juga gak bakal peduli lagi kalau misalnya lo mati hari ini!"

Kemudian Levin melenggang pergi begitu saja dengan tangan terkepal dan rahang terkatup kuat.

Menyisakan Drexa yang kali ini merasa terbunuh dengan kata-katanya.

Menyiratkan secara tak langsung bahwa Levin melakukan satu hal yang membuat mental Drexa kembali tertekan.

Seolah melepaskan Drexa dan menyatakan bahwa Drexa tak penting lagi. Drexa tak dipedulikan lagi.

Drexa mengukir senyum kosong, tersenyum pada dirinya sendiri dengan hina, "Ah, si anjing Levin itu selalu bisa memporak-porandakan hati gue. Dia bunuh gue lagi dan,......I deserved it."

*******

Hembusan angin malam membelai lembut pipi pemuda yang rambutnya terlihat sangat berantakan.

Dia tak bermaksud menyakiti, tetapi Drexa selalu punya cara untuk membuatnya geram.

"Gue bahkan gak bisa ngendaliin emosi gue sendiri." Lirihnya.

Levin, dia mengutuk takdir yang entah kenapa seakan tak memberinya celah untuk mencintai Drexa sebagai seorang wanita.

Ia bahkan terlalu mencintai Drexa. Sangat.

Dia merasa sangat pecundang.

Dan Drexa membuatnya terasa semakin nyata.

Karena disaat ia memiliki kesempatan untuk mengatakan yang sebenarnya sebelum papanya menikah dengan mamanya Drexa, ia justru memilih bungkam dan mengakhiri hubungannya.

Mengorbankan hati Drexa sebagai rasa bakti kepada ayahnya.

"ARGHHHHHH!" Ia meninju tembok disampingnya, tak peduli pada tangannya yang berdarah.

"Kenapa harus elo?....."

Levin benar-benar merasa tak berguna.

"Kenapa gue harus mencintai lo Drexa?"

Levin menerawang kemasa lalu. Ia mengingat saat pertama kali bertemu Drexa.

Gadis yang sejak awal, selalu membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan.

Gadis yang membuatnya penasaran, dan membuatnya belajar arti dari perjuangan.

Karena mendapatkan hati seorang Ashley Andreaxa Leavata, adalah hal yang paling Levin rasakan kesulitannya.

Disaat para kaum hawa menganggap bertemu pangeran macam Levin adalah anugrah, Drexa hanya merasakannya sebagai sesuatu yang tak berarti dan tak lebih daripada membuang waktu.

Sangat sulit.

Tetapi ketika ia berhasil mendapatkan hati Drexa sepenuhnya, gadis itu justru telah terjebak padanya. Mencintainya yang mungkin melebihi siapapun juga. Bahkan Levin rasakan, sebesar apapun ia mencintai Drexa, Drexa jauh lebih besar dan dalam mencintainya.

Karena Drexa menjadikan Levin sebagai obsesinya.

Dan saat hati Levin terkurung dalam cinta bak heroin itu, hal yang sungguh tak pernah mereka duga terjadi.

Pernikahan antara Abraham dan Nara.

Papanya dengan mama dari Drexa.

Ia menghembuskan nafas berat, menatap langit malam yang bertabur bintang, "Gue bisa gila kalau gini terus."

*******

Happy Reading.;)






AnDREaXATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang