"Baru pulang?"
Pertanyaan dengan nada begitu sinis itu langsung membuat telinga sang gadis itu berdengung. Tak peduli, ia mengusap telinganya seolah ada kotoran disana.
Mengacuhkan.
Seseorang yang merasa diacuhkan, menggeram kesal.
"Gue tanya lo baru pulang Drexa?"Drexa mengucek matanya, seperti biasa. Ia mabuk setelah pulang dari sirquit dan sekarang menunjukan pukul setengah tiga dini hari.
"Levin?"
"Masih tahu kalau gue Levin?! Lo kemana aja Drexa?!" Tanya Levin ngegas.
Jangan lupa, selama orang tua mereka tak ada, Drexa sepenuhnya adalah tanggung jawab Levin.
"Ck, lo mabuk lagi kan? Lo mabuk udah tiga kali dalam seminggu ini Xa!"
Telinga Drexa kembali berdengung saat Levin membentaknya tak lupa mencengkram kedua bahu Drexa kuat.
"Vin?"
"Lo selalu gini Xa."
"Lev?"
"Gue kecewa."
Jleb.
Jika menyangkut Levin, perasaan Drexa bukan lagi mati rasa. Tetapi bagai permen kapas yang begitu halus dan mudah ditekan.
"Maaf." Lirih Drexa.
"Untuk kesalahan yang sama? Atau untuk kesalahan yang bakal lo ulang lagi?"
Levin menatap Drexa dengan sorot merendahkan. Meski Drexa berkata maaf ia tak pernah melakukannya dengan rasa bersalah. Bahkan kini, ia menatap Levin dengan sorot hina.
"Untuk kesalahan yang bakal gue ulang seterusnya dan bakal selalu gue ulang." Jawab Drexa perlahan.
Sudah bukan surprise lagi.
Levin tertawa sinis. Menatap Drexa dengan kosong sesaat.
"Kalau begitu,..."
Ia sengaja menggantung perkataannya dan menunduk sedikit demi mensejajarkan dirinya dengan Drexa.
"Lo gue hukum. Lagi."
Drexa tak bisa menahan kepalanya yang terasa berat. Sial, gara-gara mengikuti ajakan Theo dengan dalih merayakan kemenangannya, Drexa mabuk juga.
"Tapi......gue menang."
Dan Levin begitu paham apa arti kata menang menurut kamus Drexa.
Bibir Drexa mengatup rapat menahan rasa sakit saat Levin justru mendorongnya dan menyudutkan ia ke samping tangga.
Mengungkungnya.
Iris mereka saling menubruk. Drexa mengerjap, menatap Levin kali ini dengan sorot yang membuat Levin cukup tahu jika saat ini sepasang iris adik tirinya menatap Levin penuh makna.
Levin menyingkap rambut Drexa, kembali memperlihatkan ukiran indah yang membuat Levin meringis.
"Lev,--"
Levin menekannya, membuat Drexa yang tadinya ingin bicara membuat bibirnya terkatup lagi.
Drexa munafik karena bersikap seolah baik-baik saja disaat justru ukiran yang tampak begitu menyakitkan ia suguhkan untuk menggambarkan seberapa jauh sebenarnya Drexa telah jatuh.
Levin kemudian mengelus leher jenjang Drexa yang tampak menggoda dengan lembut, mengecupnya sekilas.
"Gue sayang lo Drexa."
Levin terlihat menarik nafas berat sebelum kembali berkata, "Tapi.........sebagai adik gue."
Drexa terkekeh pilu, mencoba biasa pada rasa sakit yang ia buat sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
AnDREaXA
Teen FictionJika Tuhan menanyakan dua hal termustahil yang ingin Drexa minta, Drexa hanya ingin Levindra kembali menjadi kekasihnya. Lalu melenyapkan eksistensi Gabriel untuk selamanya. Yang Levindra tahu, semenjak orang tua mereka memutuskan menikah, Drexa mem...