Drexa tak heran lagi. Sepanjang hari ini, tak seorangpun datang membuli Drexa. Drexa tak mau berpikir kenapa. Ia hanya berusaha menikmati saja.
Persetan dengan keadaan Gabriel, setelah meninggalkannya begitu saja, ia duduk dengan tenang dikelas. Menyumpal kedua telinga dengan headphone.
Sampai seseorang menepuk pundaknya, membuat Drexa menoleh.
Ia tercenung sesaat, ketika melihat Rain yang memakai pakaian olahraga.
Ia melepas headphonenya, menatap Rain seolah bertanya 'Ada apa?'
Rain masih menunjukan wajah lempeng, tetapi gerak geriknya terlihat begitu ragu.
Drexa berdecak. "Gue heran sama lo deh. Lo itu masih punya dua tangan dan dua kaki. Tuhan ciptain itu buat lo supaya lo bisa membela diri kalau ketemu bedebah macam Nevan. Tapi apa yang lo lakuin? Diem aja kayak orang dongok. Takut lo?"
Drexa masih merasa kesal soal Rain yang hanya diam disaat gadis itu masih bisa membela dirinya sendiri.
"......"
"Lo tau? Jerk kayak dia, kalau gak dimusnahkan cuma bikin bencana. Sampah. Tumbenan gue liat manusia sampah macam mereka."
"....."
"Gue heran kenapa sih orang-orang pada tunduk dibawah mereka? Who the hell they are?!"
"......"
"Penghuni sekolah ini buta. Mereka takut sama sesama manusia. Padahal melakukan kejahatan saja manusia tidak takut pada Tuhannya. Rain, kalau lo---"
"Kenapa lo harus peduli?"
Setelah Drexa menyerocos tanpa jeda, Rain akhirnya angkat bicara. Memandang lurus kearah Drexa yang menatapnya kaget karena Rain tiba-tiba bertanya.
Drexa tak tahu jawabannya.
Drexa tak mengerti kenapa ia harus peduli. Padahal Drexa sendiri termasuk golongan cewek apatis dengan tingkat cuek yang memang keterlaluan.
Lalu....alasan apa yang membuatnya harus sampai menaruh sedikit 'perhatian'
Rain tersenyum dalam diam. Sunggingan tipisnya nyaris kasat mata.
"Kayak lo yang gatau kenapa alasannya, gue juga Andreaxa." Rain menjawab kalem.
Drexa tercenung.
"I don't know why. I don't how. Just did. I never had space. So....i didn't have reason why i still silent?."
Perkataan Rain yang nyaris berbisik membuat Drexa benar-benar tak percaya. Suara gadis itu lemah, tidak mencerminkan penampilan dan sikap dingin Rain yang biasa.
"Seperti yang setiap orang ketahui, kekuasaan memang selalu yang paling utama. Gue....emang gak pernah punya hak untuk itu. I don't have anything."
Drexa menghela nafas. Benar. Rain memang benar. Rahasia umum menjijikan yang membuat Drexa juga membenci kenyataan itu.
Tanpa kekuasaan. Tanpa uang. Tanpa kekuatan. Tanpa kekayaan.
Manusia memang bagai sebutir debu yang sama sekali tanpa arti. Tak ada siapapun yang mau memandang karena dunia memang tidak menghargai seseorang yang tidak memiliki apapun.
Drexa mengerti. Walau tidak pernah berada dalam posisi Rain, pasti gadis itu kesulitan karena makhluk disekolah ini hanya mau berteman dengan orang yang berlevel sama.
"Kasta gak bisa dijadikan patokan untuk merendah. Setiap manusia sama haknya. Lo gabisa berteman sama seseorang hanya karena dari kekayaan. That's not real friends!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AnDREaXA
Teen FictionJika Tuhan menanyakan dua hal termustahil yang ingin Drexa minta, Drexa hanya ingin Levindra kembali menjadi kekasihnya. Lalu melenyapkan eksistensi Gabriel untuk selamanya. Yang Levindra tahu, semenjak orang tua mereka memutuskan menikah, Drexa mem...