04# Bunda

33.8K 2K 62
                                    

_semua itu bukan hanya tentang rasa tetapi juga tentang hati_

  🌼🌼🌼  

Mobil Toyota Fortuner putih kembali menjejakkan roda kokohnya di jalanan, menjadikan deru di antara debu-debu yang tipis beterbangan. Menghalau dinginnya angin yang menusuk sampai ke tulang. Ba'da subuh ini, si empunya melesatkan kereta besi itu di atas rata-rata. Jalanan masih terlihat sangat sepi. Qiyya mengemudikan Fortuner putih itu bersama ummi Fatimah menuju ke Bandara Juanda untuk menjemput menantu dan kedua cucu ummi Fatimah. Awalnya pak Ujang-sopir keluarga abi Umar-bersedia mengantarkan namun karena mendadak istrinya sedang sakit, di sinilah akhirnya Qiyya berada di belakang kemudi kereta besi putih milik ummi Fatimah. Butuh waktu kurang lebih empat jam untuk bisa sampai ke Juanda dari kota tempat tinggalnya kini.

"Pesawat landing jam berapa Ummi, di terminal satu atau dua?" tanya Qiyya dengan mata tetap fokus ke jalan.

"Jam 09.35 Qiyya, terminal satu. Hati-hati nyetirnya, ummi jadi ngerepotin kamu kalau begini ceritanya. Maafin ummi ya?"

"Ummi kok bilang seperti itu, ummi itu sudah seperti ibu Kartika buat Qiyya, jadi tidak ada namanya repot-merepotkan." Qiyya menjawab sambil sekilas memandang ummi Fatimah dari samping.

"Hanif dan Hafizh pasti akan senang bertemu denganmu Qiyya, tiap kali telepon ummi mereka selalu menanyakan auntynya. Kasihan, sekecil mereka sudah merasakan kehilangan sosok seorang ibu." Kata ummi Fatimah samar dan hampir tidak terdengar.

Qiyya memang tidak begitu mengenal keluarga kakak Aisha karena sejak kak Amel menikah, kak Amel dan suaminya yang berprofesi sebagai seorang dokter tinggal Banten. Tentang Hanif dan Hafizh pun Qiyya hanya mendapat cerita dari ummi Fatimah atau Aisha.

Setelah perjalanan yang cukup membuat tegang pinggang Qiyya, karena dia telah lama tidak pernah mengemudikan kendaraan jarak jauh lagi. Namun demi senyum ummi Fatimah, Qiyya memberanikan menawarkan diri untuk mengemudi manakala subuh tadi dia mendapatkan telepon dari ummi Fatimah bahwa pak Ujang tidak bisa mengantarkan mereka. Sampailah kini mereka di area parkir terminal satu Bandara Juanda Surabaya.

Jam tangan Qiyya menunjukkan pukul 09.03 belum telat rasanya Qiyya untuk melaksanakan sholat duha. Setelah mendapat izin dari ummi Fatimah, Qiyya bergegas menuju mushola yang letaknya tidak berjauhan dari arrival gate terminal satu.

"Semoga aku tidak salah memilihmu, Qiyyara." Batin ummi Fatimah dalam hati.

Dua puluh menit waktu yang sangat cukup untuk Qiyya bermunajah kepada sang Arsy, Allahu Rabb. Dengan muka yang kembali segar dan senyum tipisnya dia berjalan menghampiri ummi Fatimah yang duduk di kursi tunggu seorang diri. Duduk di samping ummi dan memperhatikan keluarga kecil yang duduk di depannya. Anak kecil di depannya sedang merajuk kepada mamanya untuk mau membelikan es cream sedangkan papanya malah menggoda anaknya untuk meminta lebih banyak padahal dia tau kalau istrinya tetap bergeming dengan permintaan anaknya. Romantis menurut Qiyya, batinnya menjerit beristighfar atas kecemburuan adegan romantis di depan matanya. Seandainya dia memiliki suami, seandainya dia memiliki anak, pasti cerita hidupnya tidak seperti sekarang ini.

"Astaghfirullohaladziim," lirih Qiyya mengucap berulang-ulang sambil menutup mukanya dengan kedua tangan.

Seolah sadar dengan lamunannya, Qiyya menoleh ke samping ternyata ummi Fatimah sudah tidak ada lagi berada di sampingnya. 'Mungkin pesawatnya telah mendarat dan aku terlalu lama melamun,' batin Qiyya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berjalan menuju pintu keluar terminal kedatangan.

"I'm sorry Aunty," ucap anak kecil berusia kurang lebih lima tahun ketika menabrak Qiyya hingga mereka berdua terjatuh.

"Oh never mind, are you OK?" balas Qiyya segera berdiri dan membantu anak di depannya tersebut untuk berdiri.

KHITBAH KEDUA [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang