08# Pembatalan

26.3K 1.7K 40
                                    

_Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya dan Allah adalah sebaik-baiknya pembuat rencana_

🌼🌼🌼

Hujan masih setia dengan rintiknya. Malam masih setia dengan dinginnya. Bulan dan bintang masih teronggok pilu dibalik awan yang semakin menghitam. Dan Qiyya masih setia dengan air matanya. Buliran-buliran bening itu masih menetes di bawah rinai hujan yang menghujam bumi. Tanpa suara seperti hatinya yang kembali merapuh. Niat hati yang tidak sesempurna kenyataan kembali melengkungkan asa.

Sekuat tenaga Qiyya menetralkan kembali gemuruh hatinya. Meredakan emosi dengan bacaan istighfar yang sedari tadi komat kamit telah dia lafazkan. Mengusap air mata yang masih menetes di pipinya. Akhirnya dia telah sampai di rumah, rumah yang selalu memberikan keamanan dan kenyamanan.

Bangunan kokoh yang selalu memberikan kehangatan itu mendadak membisu. Menjadi bisu diantara rinai gerimis yang menyapu belahan bumi berpenghidupan itu. Sebisu hati Qiyya yang kembali melebam biru. Rumah yang selalu membawa tawa itu seolah kembali tercekat pilu. Entahlah, kiasan atau hanya perasaan seorang Qiyyara.

Sapaan salam tak kunjung terjawab, waktu yang kian beranjak semakin membuat maghrib semakin menjauh dan Qiyya tidak ingin maghribnya terlewati tanpa udzur syar'i. Ketukan pelan di kayu jati berukuran 2,2 m x 1,6 m itu kembali menggema. Salam tidak lupa Qiyya ucapkan. Lima menit berdiri, akhirnya diambillah telepon genggam di tas selempang yang dipakainya. Belum sampai terwujud keinginannya, pintu rumah itu dibuka dan muncullah sosok Zurrauf, adik laki-lakinya. Dengan muka yang ahhh, tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

"Kamu kenapa Dik? Mukamu? Ayah dan ibu dimana kok lama membukakan pintu?" khawatir Qiyya langsung memberondong adiknya dengan banyak pertanyaan.

"Di dalam, masuk dulu Mbak. Ayah sedang sakit." Jawab Zurra dengan kata-kata yang datar.

Kaki mungil Qiyya langsung bergegas menuju kamar ayah dan ibunya. Melihat ayahnya terlentang di dipan dan memejamkan mata, ibunya terisak di samping ayah sambil memijit kaki kokohnya. Rasanya seperti de javu, angan Qiyya kembali ke masa dua tahun yang lalu. Saat tubuh kokoh ayahnya itu merapuh dan air mata ibunya yang teduh itu harus mengalir mengetahui tragedi yang menimpa putri sulung mereka.

"Ayah kenapa, Bu?" tanya Qiyya pelan.

"Bajumu basah Mbak, mandilah dulu. Kamu sudah buka puasa?" Kartika berbalik tanya.

"Iya, Qiyya kehujanan. Qiyya mandi dulu ya Bu sekalian salat maghrib." Setelah dijawab anggukan Qiyya melangkah keluar menuju kamar mandi.

Kartika dan Zurra telah menunggu Qiyya di meja makan. Resah yang mendera, gelisah yang mewarnai wajah keduanya sangat kentara bahwa ada masalah pelik yang sedang terjadi. Seolah memberikan jeda untuk keduanya, Qiyya duduk di kursi sambil menyendokkan nasi dan beberapa lauk ke piring makannya.

Rasanya di rumah hanya berempat. Aira yang sedang co ass sudah bisa dipastikan tidak akan makan malam di rumah. Namun malam ini Kartika menyediakan makanan seperti cukup untuk dimakan lebih dari 10 orang. Lauk pauknya pun cukup beragam.

"Ini tadi untuk menyambut Qiyya yang sedang berpuasa ya Bu, makan malam istimewa." Gurau Qiyya namun hanya ditanggapi kebisuan yang tercekat.

"Makanlah dulu, ada sesuatu yang akan kami sampaikan kepadamu." Jawab Kartika. Tanpa menunggu lama Qiyya menghabiskan menu buka puasanya.

"Alhamdulillahhil ladzi ath amanaa wa saqaana waja'alanaa minal muslimiin," doa Qiyya mengakhiri makannya.

"Sore ini keluarga Azzam ke sini, Mbak." Awal Zurra memulai ceritanya.

KHITBAH KEDUA [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang