This is part of their story
-- happy reading --#Khumaira Zaffran
Berjuang demi cita-cita namun jauh dari keluarga, rasanya seperti makan buah simalakama. Tahu bagaimana rasanya? Yang kuketahui selama ini itu hanyalah buah perumpamaan saat kita tidak memiliki pilihan yang baik untuk sebuah keputusan dimana saat kita makan buah itu ibu meninggal tidak dimakan pun ayah yang akan meninggal.
Benar, kesungguhan dalam memperoleh kebahagiaan. Aku masih harus berjuang dan ketahuilah, ditengah-tengah aku berjuang Tuhan memberikanku amanah kembali saat Elramku sudah akan masuk ke sekolah taman kanak-kanak. Siklus bulananku berhenti dan setrip merah dua di testpack yang diberikan mas Erland pagi tadi membawakan berita menggembirakan. Namun mengapa aku justru tidak begitu antusias? Apa karena masih hidup berjauhan dengan mas Erland atau ada alasan lainnya, entahlah. Yang jelas di akhir blok spesialisku kegiatan belajar di kampus justru semakin padat-padatnya.
Namun lagi-lagi kekasih halalku membuka mata hingga membuat hatiku berkedut dan menumpahkan air mata yang ada.
"Aku masih harus menyelesaikan spesialisku, Mas. Tidak ingin molor supaya kita bisa hidup bareng-bareng lagi." Sungguh hidup berjauhan dari mereka itu sangat menyesakkan di dada.
"Dulu waktu internship kamu juga hamil Elram. Lalu apa masalahnya sekarang?"
"Beda, internship aku dekat dengan kamu, tidak masuk kelas. Nah sekarang kan sudah jauh dari kamu, dari Elram, masih harus di kelas." Bicara dengan Mas Erland membuat emosiku memuncak seketika. Mengapa dia tidak mengerti apa yang aku maksudkan. Toh sesungguhnya dia juga sama sebagai dokter spesialis yang tahu lebih dulu bagaimana repotnya kuliah di blok akhir. Apa karena dia laki-laki dan aku perempuan? Sehingga sama sekali tidak memberikan empatinya saat aku harus berjuang.
Ingin sekali menyalahkannya. Sudah lebih dari setahun terakhir ini dia susah sekali jika diminta untuk menggunakan pengaman dengan alasan A, B, C, D, E. Sudah persis anak TK yang belajar ngeja kan?
Hingga pada akhirnya membuatku hamil sebelum aku siap untuk menerimanya. Bukan karena aku tidak menginginkan, namun lebih karena keinginanku yang ingin segera berkumpul dengan mereka kembali.
Jika tidak mengingat agama mungkin aku bisa saja membuatnya menghilang dengan berbagai obat yang bisa aku dapatkan di apotek. Namun akalku masih melekat hingga pikiran buruk itu langsung hilang saat baru saja membayang.
"Alhamdulillah, akhirnya Elram nggak sendiri lagi nantinya." Ibu dan Mbak Qiyya yang sudah mengetahui apa yang terjadi padaku segera memberikan ucapan selamat dan seluruh keluarga Zaffran pun akhirnya ikut nimbrung dalam group keluarga.
"Dijaga baik-baik, meski Malang dan Blitar itu dekat tapi kamu juga harus tetap menjaga kesehatan dan juga jangan terlalu capek." Yang ini adalah voice note mbakku tercinta.
"Dik, semangat ya. Ah jadi pengen kan aku nambah lagi buat adiknya Fiza." Kalau ini jelas suara masku yang luar biasa absurd setelah menikah. Sepertinya penyakit mas Ibnu sudah menular kepadanya. Sok kulkas di luar, tapi sebenarnya microwave di dalam rumah.
Aku masih tergugu dalam diam. Sampai pundakku terasa bertambah beban manakala lelaki halalku meletakkan dagunya di sana. Ada damai tersendiri saat berdua seperti ini. Suamiku berdiri di belakangku dengan kedua tangannya yang kini mulai menyusup diantara lenganku untuk mengusap perutku yang masih rata.
"Kita sudah berapa tahun menikah sayang?"
Bola mataku berputar saat mendengar pertanyaannya. Kami telah melewati anniversary yang keenam, mengapa dia sudah melupakannya atau memang laki-laki itu akan melupakan hal-hal yang dianggapnya tidak terlalu penting seperti itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
KHITBAH KEDUA [Telah Terbit]
RomanceYa Illahi Rabb, izinkan seorang ikhwan berdiri disampingku, memimpinku kala keningku menyentuh bumi mengagungkan namaMu, menjadi jalan tolku menuju jannahMu, dan menyempurnakan separuh agamaku kembali ~~ Adz Qiyyara Zaffran. Ya Illahi Rabb, izinkan...