_tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya_
[HR. Bukhari dan Muslim]
🌼🌼🌼
Qiyya menjejakkan langkah dengan cepat menuju ruang ICU dengan menggandeng tangan Hanif. Ibnu mengimbangi langkah Qiyya dengan Hafizh yang berada di gendongannya karena dia masih tertidur dan tidak mau dibangunkan.
Ruangan ICU itu tetap sama, bisu dan mencekam. Di depan ruang tunggu terlihat Zurra dan Kartika dengan raut muka cemas dan gelisah.
Melihat Qiyya datang, Zurra langsung memberitahu ibunya. Ibnu yang kini sudah berdiri di samping Qiyya tersenyum mengangguk kepada Kartika dan kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Zurra. Qiyya dan Hanif juga bersalaman dengan keduanya.
"Ayah kritis Mbak, dr. Sandrino mengatakan bahwa harus dilakukan tindakan operasi secepatnya. Kita sudah menyetujui. Hanya saja karena kemarin Mbak Qiyya yang menandatangani berkas pendaftaran dan lain-lainnya selaku wali pasien, maka untuk tindakan operasi ini juga membutuhkan tanda tangan Mbak." Jelas Zurra.
"Dik Aira sudah tahu?" tanya Qiyya.
"Justru Aira tadi yang memberitahu kami__"
"Dimana Mbak harus tanda tangan?" potong Qiyya.
Melihat kepanikan di mata Qiyya, Ibnu berinisiatif untuk mendatangi dr. Sandrino sekaligus mengambilkan form untuk ditandatangani Qiyya. Setelah mendapat izin dari Kartika, Ibnu memindahkan Hafizh yang masih tertidur di gendongannya ke pangkuan Qiyya kemudian berjalan menjauh menuju ruangan dr. Sandrino.
Kartika yang melihat kejadian itu menatap putri sulungnya dengan beberapa pertanyaan yang tersirat di matanya. Bukan Qiyya tidak menyadari akan hal itu, namun untuk saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Kartika. Berbeda dengan Kartika, Zurra justru lebih frontal menanyakan kepada Qiyya. "Jadi, Mbak dengan dokter Ibnu__?"
"Kamu jangan mikir macam-macam, nanti Mbak Qi ceritakan. Sekarang yang penting adalah ayah." Potong Qiyya.
Zurra terdiam menatap Hanif yang sedang duduk di samping Qiyya dan Hafizh yang sedang tertidur pulas di pangkuan Qiyya. Duduknya yang menghadap Qiyya membuat kepala Hafizh menempel di dada Qiyya. Posisi seperti itu justru membuat Hafizh semakin nyaman tidur di pangkuannya.
"Semakin Zurra perhatiin nih Mbak ya, muka mereka berdua ada mirip-miripnya loh sama Mbak Qiyya." Ucap Zurra membuat bibir Kartika melengkung keatas sesaat.
"Kamu ini, kondisi seperti ini masih aja becandain mbakmu." Kata Qiyya.
"Tapi memang benar yang dikatakan adikmu Qiyyara. Mas Hanif kelas berapa sekarang?" tanya Kartika yang mulai mendekati Hanif.
"Kelas 1 MI, Tante." Jawab Hanif polos.
Semua orang terkekeh geli mendengar jawaban Hanif. Bagaimana tidak, seorang Kartika yang usianya memasuki 60an itu dipanggil tante oleh bocah berusia 7 tahun.
"Panggil uti saja ya, uti Kartika." Kata Kartika akhirnya di jawab anggukan oleh Hanif.
Kartika dan Hanif bercengkerama bersama. Kartika yang memang menginginkan seorang cucu merasa terlengkapi dengan bercanda bersama anak-anak seusia Hanif. Saking serunya percakapan mereka, sampai sampai Kartika tidak menyadari bahwa Aira telah berdiri diantaranya.
"Anak siapa Mbak?" tanya Aira.
"Anaknya mbak Qiyyalah__calon." Zurra menjawabnya dengan senyuman menggoda Qiyyara
KAMU SEDANG MEMBACA
KHITBAH KEDUA [Telah Terbit]
RomanceYa Illahi Rabb, izinkan seorang ikhwan berdiri disampingku, memimpinku kala keningku menyentuh bumi mengagungkan namaMu, menjadi jalan tolku menuju jannahMu, dan menyempurnakan separuh agamaku kembali ~~ Adz Qiyyara Zaffran. Ya Illahi Rabb, izinkan...