🍄|| Serial Erlando & Aira #11

18.9K 1.1K 156
                                    

This is part of their story
-- happy reading --

#Erlando Alamsyah

Jangan pernah mengira bahwa mengasuh anak itu adalah tugas yang mudah. Atau setidaknya menganggap bahwa ibu rumah tangga itu bukanlah sebuah pekerjaan. Salah besar, nyatanya pekerjaan rumah itu tidak pernah selesai hanya dengan tatapan mata dan doa.

Aku melihatnya sendiri, tiga tahun hidup berjauhan dengan Aira meskipun hanya untuk empat hari saja dalam seminggu namun itu sudah cukup membuatku mengerti bahwa rumah tanpa perempuan itu seperti raga yang tidak ada nyawanya. Semuanya serasa hambar, lurus tanpa kelokan dan lempeng ibarat jalan tol yang membuat mata mengantuk.

Kuliah spesialis istriku memang telah sampai di blok akhir, mungkin satu semester lagi dia akan benar-benar selesai dan akan melaksanakan residennya. Hanya saja kecelakaan, sebenarnya bukan kecelakaan dalam arti sesungguhnya tapi aku membuatnya hamil kembali di saat dia sedang banyak tugas dan kuliah yang justru padat-padatnya.

Sebenarnya kami tidak memprogram untuk itu, namun aku memang sengaja tidak menggunakan pengaman meski tidak sedang program. Dan benar saja akhirnya Allah memberikan amanah itu kembali kepada kami. Bahagia? Tentu saja aku bahagia, hanya saja karena Aira sepertinya masih shock dengan hal ini karena memang kami tidak pernah merencanakan hal ini sebelumnya. Sebagai seorang dokter, aku bisa memahami apa yang dirasakan oleh istri cantikku ini. Dengan hamil tentu saja dia tidak bisa dengan leluasa untuk bergerak lincah dan aku sudah memperhitungkan itu. Meski berbeda spesialis namun dalam hatiku aku berjanji untuk bisa membantunya semaksimal mungkin. Itu sebabnya hari ini aku mengunjungi kediaman kakak iparku untuk membicarakan semuanya.

"Masalah Elram tidak perlu dibuat rumit. Kalau memang kamu harus bersama Aira, biar dia dan baby sitternya tidur di sini." Mbak Qiyya langsung memberikan instruksi tanpa minta pertimbangan mas Ibnu.

"Nah itu benar kata mbakmu, sekalian diurusi di sini. Kalau kamu ingin pulang ke Malang tinggal membawa Elram dan baby sitternya kemari." Tambah mas Ibnu mendukung apa yang telah disampaikan oleh mbak Qiyya sebelumnya.

"Masalahnya dik Aira belum tentu setuju tentang hal ini, Mbak." Kataku, aku memang belum mengatakan ini kepada istriku.

"Nanti aku bantu bicara dengan istrimu." Mbak Qiyya kembali memberikan dukungannya.

"Support saja Aira, dia itu keras dan tegas. Kalau sudah ada kemauan yang sekiranya bisa diperjuangkan pasti akan berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Khawatir saja nanti justru akan membuat boomerang untuk istrimu. Dia masih begitu aktif karena ingin meraih sesuatu tapi melupakan janin yang ada di dalam kandungannya." Mbak Qiyya menambahkan lagi.

Semua yang diucapkan kakak iparku itu memang benar adanya, karena hal itulah yang membuatku mengambil keputusan untuk berbicara dengan saudara Aira sebelum akhirnya aku memutuskan untuk sering pulang ke Malang.

"Mas sepertinya kita memang butuh rumah di Malang deh." Tiba-tiba mbak Qiyya berbicara tentang rumah kepada mas Ibnu.

"Sepertinya memang begitu. Coba bicara dengan ayah deh, Devi dan Aira semua kuliah di Malang. Mungkin nanti anak-anak juga akan sering ke sana."

Yah, kedua iparku justru lebih tertarik untuk mengambil bahasan tentang rumah di Malang sampai mbak Qiyya harus menelpon ayah mertua dan beliau menyetujui.

"Tapi Mas__" aku mencoba untuk berbicara, bukan aku tidak setuju tapi karena aku sendiri juga masih ingin membeli tanah untuk tempat praktikku nantinya maka untuk ikut berinvestasi sepertinya masih belum memungkinkan.

"Sudah, kita lihat dulu di Malang. Nggak harus beli nanti kalau harganya cocok dengan kantong ya kita beli kalau enggak ya mau gimana lagi." Selalu seperti itu, iparku ini bukan orang yang terburu-buru dalam mengambil keputusan namun saat dibutuhkan dia selalu menjadi orang yang paling depan untuk melindungi kami.

"Jadi tentang Elramdan, Mas?"

"Ya, kamu harus bicara dulu dengan istrimu. Jangan sampai kalian salah mengartikan satu sama lainnya, prinsipnya kami berdua siap kapan saja mengawasi Elram di rumah. Ada budhenya juga kok, kalau uti pasti sudah di monopoli oleh Fiza." Kata Mas Ibnu.

"Kalau kamu sudah bicara dengan Aira, nanti aku telpon dia supaya ngerti dan tidak salah paham dengan maksudmu." Setelah mbak Qiyya mengatakan ini tidak lama setelah itu aku langsung pamit untuk pulang.

Benar, karena memang aku yang menginginkan adik untuk Elram maka aku juga harus bisa memberikan support kepada Aira supaya tidak terlalu memberatkan kegiatan kampusnya. Meski harus sering pulang pergi Blitar-Malang.

Dan begitulah kiranya kegiatanku sekarang, menjadi asisten pejabat dinas perhubungan untuk melihat bagaimana prasarana yang menghubungkan jalur propinsi. Karena hampir setiap dua hari sekali aku ke Malang untuk kekasihku dan sementara waktu Elram dibawah asuhan budhenya. Beruntunglah keluarga istriku sangat memberikan support bukan hanya psikologis namun juga support tenaga.

"Mas, merepotkan mbak Qiyya dan mas Ibnu kan?"

"Sementara Sayang, aku juga tidak mungkin membuatmu kesulitan karena kehamilan ini."

"Mas__"

"Kita bisa bermesraan kan sambil mencetak adiknya Elram, lagi." Jawabku.

"Mas, kamu sedang bercanda?"

"No."

"Lalu bagaimana mungkin akan mencetak adiknya Elram lagi sementara adiknya yang satu ini saja masih berproses untuk tumbuh." Aira seketika langsung menjawab dengan nada terkejutnya.

"Nah kan itu artinya kamu harus berhati-hati dan tidak boleh capek-capek."

"Mas ini bukan yang pertama, aku sudah pernah hamil sebelumnya dan tidak ada masalah dengan kehamilan Elram, jangan mengada-ada."

"Setiap kehamilan itu tidak sama jadi tidak ada salahnya untuk berhati-hati."

"Iya aku tahu, gara-gara kamu sih." Istriku masih juga dengan sikat yang jutek mengatakannya.

"Maksudnya perihal kamu hamil?"

"Apalagi."

"Memang siapa yang boleh menghamilimu selain aku? Sembarangan." Alah mengapa emosiku jadi tersulut hanya karena Aira berkata seperti itu.

"Kok jadi nuduh aku?" tiba-tiba Airaku mengeluarkan air mata. Tuhan, aku lupa kalau wanita hamil itu naik kadar sensitivitasnya.

Melihat air matanya, emosiku meluruh seketika dan berganti dengan senyuman untuk merengkuhnya dalam pelukan. Istriku tetap yang terbaik, walau terkadang masih terlihat seperti anak-anak namun aku mencintainya dengan segenap hatiku. Mungkin predikat sebagai anak bungsu masih belum bisa dihibahkannya kepada orang lain. Meski selalu berkata tidak ingin merepotkan kedua kakak dan orang tuanya namun tetap saja sikapnya selalu menunjukkan bahwa dia adalah adik yang meminta untuk selalu disayang oleh semua orang.

"Jangan bercanda seperti itu lagi, Mas. Aku nggak suka itu." Ucapnya yang masih berada di dekapanku.

"Maafkan aku." Dan aku hanya bisa menghujaninya dengan ciuman sampai akhirnya dia bisa tersenyum kembali padaku. Ya, senyum itu hanya untuk diriku.

🌷🌷🌷

KHITBAH KEDUA [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang