🍄|| Serial Erlando & Aira #09

17.3K 1.1K 128
                                    

This is part of their story
-- happy reading --

#Erlando Alamsyah

Tak pernah terpikir olehku tiba-tiba di suatu malam, wanita halalku menceritakan sesuatu yang yah, membuat hatiku sedikit ngilu.

Namun akal sehatku masih bisa meredamnya. Tidak akan kuhakimi sekarang. Aku harus tahu dari sudut pandang yang berbeda.

Malam itu terpaksa aku membalikkan tubuh untuk memunggunginya. Biarlah sesaat aku meredam emosi yang sedang membara di dalam hatiku.

Lirih terdengar di telingaku "Maafkan aku, Mas". Suara lembutnya mengusik malamku malam itu.

Peristiwa seminggu yang lalu itu akhirnya membawaku kesini. Lorong RSU Malang.

Ngilu yang aku rasakan waktu itu ternyata terbantahkan ketika aku berdiri di salah satu ruang rawat inap. Memandang dengan sedih, anak perempuan seusia Almira dengan berbagai peralatan medis yang ada di tubuhnya.

Aira, mbak Qiyya bahkan mas Ibnu kini sedang bersamaku. Bukan pemandangan yang menegangkan seperti yang mungkin ada di pikiran kalian. Justru kami semua merasa iba dan haru.

'Masihkah aku menyimpannya?'

Perasaan cemburu yang mengharu biru. Ah, jadi ingat bagaimana dulu aku pernah mencemburui kakak iparku yang kini berdiri di sebelahku. Lucu.

Untungnya kemarin aku bisa menekan egoku. Tidak membabi buta menyalahkan Aira dengan segala opininya.

Istriku ini memang benar-benar luar biasa. Aku tidak pernah menyangkanya. Meskipun aku tahu siapa ayah dari pasien ini. Jika kalian seorang dokter atau setidaknya paramadis seperti kami. Aku yakin kalian pasti akan mengerti tanpa harus aku jelaskan secara rinci.

Sekilas aku melihat mas Ibnu mengajak istriku untuk keluar dari ruangan ini. Hingga pandanganku terpaku pada mbak Qiyya yang dengan lembut membelai kepala Aira kecil dan mengusapnya dengan penuh kelembutan.

'Semua ibu pasti akan melakukan itu'.

"Sudah berapa lama dirawat disini Ustad?" tanya mbak Qiyya kepada ayah pasien yang baru-baru ini baru ku ketahui bahwa laki-laki ini dulu pernah mengajak ta'aruf kakak iparku ini.

"Hampir satu bulan, Ukh."

"Subhanallah." Kulihat pintu terbuka dan tubuh mas Ibnu masuk ke kamar inap ini.

"Aira?" tanyaku.

"Ada temannya tadi sekalian menghadap dokter yang menangani Aira untuk berdiskusi sesuatu." Jawab mas Ibnu tak lama kemudian kurasa gawaiku bergetar.

Dearest
Mas, aku menemui dokter Faizal bersama dokter Susi dan dokter Pramana

Dearest
Iya. Jangan lupa tanyakan yang kita diskusikan semalam

Kami memang telah mendiskusikan masalah Aira kecil. Dan kepedulian teman teman Aira satu kelas untuk membantunya.

Satu hal lagi, ternyata Aira dan teamnya yang berjumlah 7 orang bersiap untuk menjadikan pneumonia yang diderita Aira ini untuk dijadikan bahan observasi dan karya tulis untuk tugas akhirnya nanti.

Awalnya memang aku berpikir bahwa dia akan melakukan sendiri. Ternyata dugaanku keliru, dia membantu bersama team dokter satu kelas yang diajar oleh Ustad Wildan.

Ah, makanya kalau mencerna sesuatu sebaiknya memang sampai akhir biar tidak terjadi kesalahfahaman seperti ini.

"Dokter Erlando?" salah seorang di lorong rumah sakit ini memanggil namaku. Sontak kepalaku menoleh kearah sumber bunyi yang begitu nyaringnya. Kami telah pamit kepada ustad Wildan untuk pulang.

KHITBAH KEDUA [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang