WFLO Part 27

4 0 0
                                    

.

.

--Di Singapore--

"Ini sudah mau dua minggu tapi hasil rontgen belum menujukkan kemajuan yang signifikan fuuh"

Baru kali ini Yami melihat dokter Brian frustasi seperti itu. Jujur bukan hanya dia yang kalut, tapi Yami juga. Bagaimana tidak, disini yang jadi pasien adalah Yami. Dan yang pasti mendapatkan risiko paling besar jika penemuan ini gagal adalah tentu si kelinci percobaan.

"Tenanglah dok, ini kan masih jauh dari jangka waktu dalam prosedur. Kalian pasti berhasil" Yami tersenyum manis di kursinya.

Dokter Brian memutar kursinya menghadap Yami yang sedang duduk dihadapannya. Ia menumpukan tangannya diatas meja. Lalu sedikit menghela nafas berat menandakan ada sesuatu yang sangat ia pikirkan saat ini.

"Kau membuatku benar-benar gagal nak. Mana ada pasien yang menenangkan dokternya" dokter Brian memegang pelipis kepalanya yang tak pusing.

"Hihi habisnya kau terlihat sangat frustasi" Yami tertawa kecil.

"Kau ini.. Apa kau tidak takut ?" tanya Dokter heran melihat Yami yang biasa-biasa saja.

"Apa yang harus aku takuti dok ? Semua pasti sudah jalan yang Allah berikan. Mau aku selamat ataupun tidak" jelas Yami dengan pancaran mata yang sulit di mengerti.

"Setelah aku gagal menyelamatkan ayahmu. Aku.. Aku juga takut gagal menanganimu" cicit dokter Brian sambil memegang map berisi hasil rontgen paru-paru Yami.

Yami mengehela nafasnya memcoba membuang semua beban yang ada.

"Qadarullah.. Tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri dok" Yami menunduk, dadanya terasa sakit melihat raut wajah orang tua didepannya.

"Aku berjanji ini akan berhasil. Aku tidak akan kehilangan seorang anak untuk yang kedua kalinya" tiba-tiba dokter Brian berdiri sambil mengepalkan sebelah tangannya menyemangati dirinya sendiri.

"Ingat umur pak" Yami tertawa kecil

Dokter Brian itu wajahnya serius, sedikit datar, dan jika dilihat sekilas seperti orang yang garang. Tapi sebenarnya tidak. Tidak sama sekali. Ada waktunya dia bersikap serius dan ada waktunya bersikap santai, bahkan sangat santai. Sifat konyolnya itu kadang bisa membuat partner ataupun pasiennya melongo. Tapi untuk Yami dia sudah paham dengan orang didepannya ini. Jadi tidak aneh.

"Kita lanjutkan perbincangan ini besok ya. Kau bisa kembali untuk beristirahat. Oh ! Apa kau sudah sholat isya ?"

"Tentu. Ini sudah jam sepuluh malam jika kau lupa"

"Ya ampun !" dokter Brian menepuk dahinya

"Jangan bilang kau belum sholat dok ?"

Dokter Brian hanya menjawab dengan cengiran wajah tak berdosa. Lalu ia pun berlari kecil meninggalkan ruangannya.

"Aih dasar. Sepertinya aku harus benar-benar sering mengingatkannya soal umurnya itu"

Yami kembali ke ruangan pasiennya. Duduk ditepi ranjang berbalut seprai putih. Lalu menaikkan kedua kakinya ke atas dan melipatnya duduk bersila.

Ia mengambil bungkus obat di meja samping ranjang. Membuka satu persatu dan menaruh 5 butir obat yang berbeda-beda itu di telapak tangannya. Sebelah tangannya meraih gelas yang berisi air putih.

Yami tidak langsung meminumnya. Ia hanya memandangi obat-obat itu dengan sendu. Setelahnya ia memejamkan mata sejenak. Menarik nafas dalam lalu menghembuskannya tak rela.

"Apakah aku akan memakan kalian selama 3 bulan ?" monolog Yami memandang obat-obat itu sekali lagi.

Setelah memakan semuanya, Yami membaringkan di atas ranjangnya untuk beristirahat.

We Found Love in OsakaWhere stories live. Discover now