Aleta menghentikan langkahnya di depan pintu kelas. Suara ramai siswa sudah terdengar dari sini. Terlukis lengkungan sabit di wajah Aleta. Akhirnya setelah seminggu lebih menjalani kemoterapi dan perawatan pasca kemoterapi, dirinya kembali menginjakkan kaki ke tempat ini. Tempat rumah ke dua baginya. Tempat terdapat keluarga kedua darinya.
Aleta melanjutkan langkahnya menuju bangkunya dan mendapati Renata yang sedang meletakkan kepala di atas meja dengan lesu.
“Lo duduk di tempat lo aja dulu Cille, gue mau duduk sendiri,” kata Renata saat Aleta baru tiba di samping meja.
Mungkin Renata mengira bahwa yang datang adalah Pricille. Posisi kepala Renata membelakangi Aleta. “Gue mau duduk di tempat gue,” jawab Aleta acuh.
Renata menegakkan kepalanya dengan cepat dan menoleh ke arahnya. Aleta melihat jelas raut wajah terkejut yang Renata tunjukkan. “Aaa, Aleta akhirnya lo masuk juga.” Renata berhambur memeluk Aleta.
Dia jingkrak-jingkrak di pelukan Aleta. “Lo tau nggak, sih, gue frustrasi banget nyari lo,” katanya lalu melepas pelukan dan menampakkan wajah kesalnya.
“Kan udah gue bilang. Gue ke Palembang,” jawab Aleta.
Renata memutar bola mata dengan malas. “Untuk ini lo harus ada penjelasan, sih. Tapi nanti aja gue masih kangen sama lo,” ucap Renata lalu menggandeng Aleta duduk di sampingnya.
Dan pada akhirnya Renata kembali menjadi Renata yang Aleta kenal. Dia banyak bicara. Apapun dia ceritakan kepada Aleta. Seolah sudah berabad-abad tak jumpa, sehingga segudang cerita harus Aleta dengarkan.
***
“Woi,” kata Andi sambil membuka pintu sekretariatan OSIS dengan napas yang terengah-engah.
Johan yang di dalam menatap malas ke arah Andi. Dia membuka beberapa berkas yang ada di atas mejanya.
“Lo harus berterima kasih banget, sih, karena gue udah mau lari-lari nyamperin lo ke sini.” Andi masuk dan mengambil kursi lalu duduk di depan meja Johan.
“Lo kalau gabut nggak usah gangguin gue.” Johan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari berkas.
“Lo rajin banget tau nggak pagi-pagi udah di sekre aja.”
“Lo nggak mau tau gue bawa info apa?” tanya Andi melihat Johan tak merespons perkataannya yang sebelumnya.
“Paling info lambeh lo yang nggak penting itu,” jawab Johan seadanya.
“Emang, ya lo. Nyesel gue lari-lari ke sini.” Andi menatap kesal tapi yang ditatapnya tak bergeming sedikitpun.
“Aleta udah masuk.”
Perkataan Andi berhasil menghentikan kegiatan Johan yang membuka satu per satu lembaran kertas itu. Johan menatap Andi seolah meminta cowok itu melanjutkan sesuatu yang mungkin ingin ia sampaikan.
“Apa? Apa? Minta info lagi? Eleh tadi gayanya sok nggak mau denger.”
“Lo serius? Dia di kelas?” tanya Johan.
“Iya. Lo mau ke sana?”
Johan berdiri berniat ingin menemui Aleta tapi tidak jadi mendengar perkataan Andi bahwa sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Andi juga mengatakan bahwa lebih baik menemui Aleta setelah pulang karena jam istirahat Aleta pasti akan mengadakan ujian tengah semester susulan, mengingat UTS sudah dilaksanakan selama dua hari dan Aleta tidak hadir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish Look for Miracle | Lengkap √
Teen Fiction(Re-publish) Judul awal "Aleta" Kamu akan tetap menjadi mentariku kala gelap menghampiri... Kamu tetap menjadi mentariku kala malam menemani... Kamu tetap menjadi mentariku bahkan ketika dunia tak mengizinkan mentari dan bintang bersatu... Kisah...