Sudah lumayan kering rambut Aleta kini Riki tengah membayar teh dan mengembalikan handuk dengan ibu penjual warung.
Tak lama berbincang dengan penjual warung, Riki kembali ke tempat Aleta membawa sebuah payung. Dirinya meminjam patung dari ibu penjual warung untuk menghantarkan Aleta ke mobilnya.
Hujan masih belum reda. Namun melihat kondisi Aleta yang sudah sangat lemah Riki memutuskan untuk segera mengantarnya pulang. “Gue ambil jaket dulu, lo tunggu di sini,” ucap Riki dan hanya mendapat anggukan dari Aleta.
Tidak terlalu lama, Riki sudah kembali membawa hoodie putih di lengannya. Dia menghampiri Aleta yang terlihat sedang menyandarkan diri di dinding. Keadaan Aleta terlihat sangat ... Kacau.
“Sori, ternyata di dalam mobil nggak ada jaket. Lo pakek hoodie nggak apa, kan?” tanya Riki setiba di dekat Aleta.
“Nggak apa, harusnya lo nggak perlu repot-repot,” jawab Aleta sembari menegakkan badannya yang semula menyender.
“Gue nggak repot. Ayo ganti biar kita langsung pulang,” ucap Riki.
Aleta hanya mengangguk dan permisi dengan penjual warung untuk menumpang mengganti baju.
***
Sekarang Aleta sudah duduk di samping bangku pengemudi. Hoodie Riki sedikit kebesaran dengannya tapi hal ini sangat menguntungkan untuknya, badannya terasa sedikit lebih hangat.
Tidak ada jenis pembicaraan di dalam mobil. Hanya suara hujan yang memecah keheningan di antara dirinya dan Riki. Riki tetap fokus mengendari sedangkan Aleta tengah menahan pening yang mulai menjalar di kepalanya.
Sudah Aleta coba terlihat baik-baik saja. Dia tak ingin Riki melihat kondisi terlemahnya tapi tetap saja semuanya tidak berhasil. Kondisinya sudah sangat buruk untuk saat ini. Dia yakin dari wajah saja sudah terlihat jelas bahwa dirinya sedang tidak apa-apa. Namun sedari tadi Riki tidak pernah mengeluarkan pertanyaan yang menyangkut untuk apa dia berada di taman itu lalu kenapa sampai basah kuyup bukannya meneduh.
Aleta mencoba menyenderkan badannya mencari tempat di mana mungkin bisa mengurangi sedikit rasa peningnya. “Lo nggak papa?” tanya Riki yang mulai menyadari Aleta terus bergerak.
Aleta menggeleng. “Nggak. Cuma kepala gue sedikit pusing,” jawab Aleta.
“Sebentar lagi sampai kok,” kata Riki.
Aleta hanya tersenyum menanggapi. Entah rasanya untuk berbicara saja dirinya sudah tidak bertenaga. Sekujur badannya terasa lemah beserta pening yang mulai mendominasi kepalanya.
Akhirnya Riki memberhentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah Aleta dan Aleta bernapas lega melihat rumahnya sudah di depan mata. Rasanya dia sudah tidak sanggup menahan pening.
Aleta ingin membuka mobil Riki tapi ditahan oleh Riki, dia bilang biarkan dia yang membukanya karena di luar masih hujan.
Riki sudah beralih di sebelah pintu penumpang dan membukakannya, saat itulah Aleta turun dari mobil. “Makasih, Ki,” lirih Aleta.
Namun detik berikutnya langsung tumbang di pelukan Riki. Dia hilang kesadaran.
***
Riki yang terkejut melihat Aleta tumbang pun dengan sigap menggendongnya menuju rumah. Tubuh Aleta kembali basah terkena guyuran hujan tapi tidak terlalu basah seperti sebelumnya.
Sambil menggendong Aleta Riki terus memencet bel rumah berharap segera ada orang yang membukakan mereka pintu.
Diliriknya Aleta yang berada dalam gendongannya. Wajahnya sangat pucat.
“Aleta,” ujar Arna ketika membukakan pintu yang sekaligus mengalihkan perhatian Riki dari wajah Aleta.
“Maaf Oma, Aleta tadi pingsan,” kata Riki.
Arna mengangguk dan langsung menyuruh Riki untuk membawa Aleta ke kamarnya. “Terima kasih, ya, Nak,” ucap Arna.
“Riki Oma. Iya sama-sama,” jawab Riki setelah membaringkan Aleta di kasurnya lalu berpamitan pulang.
***
Sepeninggalan Riki Arna langsung menelepon Dokter agar segera ke rumahnya.
Tidak butuh waktu lama Dokter sudah berada di rumah Arna dan langsung mengecek keadaan Aleta. Kemudian saat itu juga Aleta membukakan matanya.
“Hallo, Al,” sapa Dokter Maya.
Aleta hanya tersenyum. Sudah dirinya duga Oma akan dengan cepat memanggilkan Dokter Maya untuknya. Aleta menghela napas sesaat.
“Aleta nggak papa kok Dok, tadi cuma kehujanan,” ucap Aleta.
Dokter Maya hanya mengangguk sambil tersenyum. “Tapi akan lebih baik kalau kamu di rawat di rumah sakit, ya,” jawab Dokter Maya.
Aleta lagi-lagi menghela napas berat. Diliriknya sang Oma yang berdiri tak jauh dari Dokter Maya. Mata Oma sudah berkaca-kaca, tangannya terus memeluk diri seolah menenangkan diri sendiri. Aleta tak tega, Omanya begitu khawatir.
Aleta mengangguk menatap Dokter Maya. “Iya, Dok.”
***
Riki kembali ke rumah dalam keadaan baju yang hampir kering di badan. Namun belum sempat dirinya memasuki rumah, ia sudah memutar kembali badannya dan pergi melajukan mobilnya dengan keadaan yang belum berganti baju sama sekali.
Sambil menyetir Riki terus membayangkan wajah pucat Aleta. Dia tahu banyak luka yang Aleta simpan dan dirinya akan menambah luka itu lagi. Ada sedikit rasa bersalah menyelimuti perasaannya tapi dia tidak boleh mundur, dia sudah terlalu jauh sampai di sini.
lima belas menit menempuh perjalanan akhirnya Riki sudah tiba di sebuah tempat. Tempat yang selalu ia kunjungi untuk orang yang begitu bermakna untuknya.
Perlahan kakinya memasuki area itu. Dari sebelah kiri dan kanan tampak jelas suster dengan pasien tengah berlalu lalang. Rumah sakit, tempat ini adalah rumah sakit lebih tepatnya rumah sakit jiwa.
“Mas Riki,” sapa suster saat Riki sudah berada di pintu ruangan.
“Iya sus.”
“Mari masuk Mas.” Riki hanya mengikuti suster itu.
Suster pergi setelah mengantarkan Riki. Lagi-lagi Riki kemari dengan sejuta luka lebam yang menguasai dirinya.
Dilihatnya perempuan duduk di ranjang tempat tidur. Dia tidak melakukan kegiatan apapun. Dia hanya diam.
Sudah lama Riki menanti perempuan itu berbicara tapi tak kunjung jua. Riki duduk di dekat perempuan itu. Gadis yang begitu amat dicintainya.
Matanya tidak beralih menatap Riki. Hanya ada tatapan kosong di situ. Perlahan Riki meraih tangannya lalu mengecupnya. Perempuan di hadapannya saat ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tangannya masih halus seperti sebelumnya, wajahnya masih cantik seperti sebelumnya. Riki sangat merindukan gadis ini.
Tidak ada respons apapun dari perempuan itu. Tatapannya tetap lurus ke depan dan kosong. Riki menghela napas berat dan pada akhirnya sesak kembali menghampiri dirinya. Melihat kondisi perempuan yang di hadapannya kini tak menunjukkan perubahan apapun membuat Riki murka. Ia ingin secepatnya membalaskan apa yang menimpa perempuan yang begitu amat ia cintai.
Riki sudah bersabar selama ini tapi tetap saja dia tak membuahkan hasil. Hati Riki kembali nyeri mengingat masa-masa sebelum pada akhirnya perempuan di hadapannya ini berada di tempat ini. Dahulu dirinya selalu menyangkal, bahwa perempuan yang begitu ia cintai ini tidak mungkin gila atau tidak waras. Namun Dokter mengatakan bahwa bukan gila hanya saja dia mengalami sedikit gangguan kejiwaan yang membuat dia seperti manusia setengah mayat. Dia tidak pernah membuka suara dalam hitungan tahun terakhir. Dia tidak pernah menatap siapapun yang menatapnya. Dia selalu menjadi diam dan enggan dengan keadaan.
Setetes air mata meluncur begitu saja dari kelopak mata Riki. Dia tidak mencekalnya. Genggaman tangan Riki semakin erat kepada perempuan itu. Kepalanya tertunduk di pangkuan perempuan itu. “Riki minta maaf, Riki sedang berupaya dan Aleta? Dia sudah dalam jangkauan Riki, Ma.”
...
Salam sayang
NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish Look for Miracle | Lengkap √
Ficção Adolescente(Re-publish) Judul awal "Aleta" Kamu akan tetap menjadi mentariku kala gelap menghampiri... Kamu tetap menjadi mentariku kala malam menemani... Kamu tetap menjadi mentariku bahkan ketika dunia tak mengizinkan mentari dan bintang bersatu... Kisah...