Aleta mengerjakan soal ujian dengan gelisah hari ini. Perkataan Johan di halte berhasil membuat otaknya lagi-lagi berpikir dan hatinya kembali tak tenang.
Dia tidak tahu apa yang pria itu ketahui sampai pria itu tidak yakin bahwa dia benar-benar ke Palembang.
Tadi pagi sebelum dimulainya ujian Renata juga menanyakan hal yang sama. Ini sungguh membuat Aleta tidak tenang. Bagaimana jika semuanya tahu tentang penyakitnya?
Aleta memijit pelipisnya saat sudah mencentang jawaban di lembar jawabannya. Usai kemoterapi dirinya tidak selera makan karena kerap merasa mual-mual, badannya juga semakin mudah merasa lelah bahkan hanya karena dirinya kurang tidur.
Bagaimana dia bisa terlelap bila semua otaknya dipenuhi masalah yang ia alami belakangan ini. Harusnya disaat waktu yang ia miliki tak tersisa banyak, tidak lah baik untuknya memikirkan berbagai macam masalah. Harusnya dia tenang sambil menunggu waktu itu tiba. Harusnya hanya bahagia yang menjadi kawannya di menit dan detik terakhir.
***
Johan menyipitkan mata saat melihat Aleta sudah berdiri di parkiran sambil menatapnya dengan penuh senyum padahal bel pulang sudah lima belas menit berlalu. Harusnya gadis itu sudah pulang.
Johan mendekat. “Kenapa belum pualang?” tanya Johan.
“Nungguin lo,” jawab Aleta.
Johan tersenyum. “Kita pulang bareng, ya?” pinta Aleta.
“Tapi lo tau gue nggak bawa kendaraan apapun ke sekolah. Naik metro mini lagi?”
Aleta menggeleng. “Kita jalan kaki aja.”
Johan menyerngit heran. Jarak sekolah dan rumah mereka bukanlah dekat. Bagaimana mungkin akan jalan kaki. “Gue mau menyusuri setiap jalan bareng lo,” kata Aleta lagi.
“Lo nggak bakal ngeluh kaki lo pegel?”
“Gue nggak lebay, ya,” desis Aleta.
Johan hanya tersenyum lalu menggenggam tangan gadis itu. Dilihatnya Aleta yang menatapnya sebentar lalu tersenyum sambil membalas genggaman tangannya.
“Ayo kita mulai dengan genggaman tangan. Biar nggak hilang,” kekeh Johan lalu mulai melangkah pun dengan Aleta.
Mereka berjalan ke luar gerbang lalu mulai berjalan di trotoar jalan raya. Hari belum terlihat teduh karena masih sekitar pukul dua siang. Menelusuri trotoar sambil bercengkrama itu yang mereka lakukan.
Menyebrang jalan ketika lampu merah, singgah membeli minuman dingin di warung, lalu terus berjalan. Sepanjang perjalanan Aleta banyak bicara. Dia mulai pembicaraan dari hal-hal kecil seperti mengapa gorengan di kantin tak ada duanya lalu pembicaraan tentang mereka. Tentang bagaimana mereka bertemu ketika SMP, apa yang mereka sukai dan tidak sukai satu sama lain, cita-cita mereka dan masih banyak hal.
Johan sampai bingung melihat Aleta yang seperti sekarang. Tiba-tiba dia menemui dirinya dan meminta untuk pulang bersama dengan jalan kaki. Sesekali Johan memperhatikan Aleta yang bercerita banyak hal. Ada sosok lain dari gadis di sampingnya ini. Dia tersenyum tapi seolah pilu. Dia tertawa tapi seolah menangis. Dia dengan riang berbicara seolah menutupi sesuatu yang melukai hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish Look for Miracle | Lengkap √
Novela Juvenil(Re-publish) Judul awal "Aleta" Kamu akan tetap menjadi mentariku kala gelap menghampiri... Kamu tetap menjadi mentariku kala malam menemani... Kamu tetap menjadi mentariku bahkan ketika dunia tak mengizinkan mentari dan bintang bersatu... Kisah...