Aleta sudah dipindahkan ke ruangan rawat sejak dua hari lalu. Namun sampai saat ini kondisi Aleta belum juga pulih. Seperti biasa ada selang infus yang menggantung di samping brankar serta ada mesin pendeteksi jantung juga di sana.
Arna duduk di samping brankar yang ditemani Riki. Riki sepulang sekolah langsung kemari. Kemudian knop pintu dibuka oleh seseorang. Ternyata Dokter
Maya.“Hallo, Bu Arna,” sapa Dokter Maya menghampiri Arna. Dokter Maya melirik ke arah Riki sekilas.
Seoalah Arna mengerti bahwa Dokter Maya akan menjelaskan kondisi Aleta saat ini. “Tidak apa, dia teman Aleta yang sudah tahu mengenai penyakit Aleta.” Arna menjelaskan sambil melihat ke arah Riki.
“Baik. Dua hari lalu saya dapat telpon dari Dokter Nugraha yang menangani Aleta di UGD. Untung Aleta dilarikan di rumah sakit saya bekerja. Saya sudah memeriksa Aleta dua kali. Yang pertama CT scen dari Dokter Nugraha dan CT scen dari saya sendiri, hasilnya sama,” jelas Dokter Maya lalu dia menghela napas sesaat.
“Dari hasil CT scen dua hari lalu yang baru keluar sore ini. Sel kanker otak Aleta sudah sangat serius dan semakin ganas. Sel yang semula masih terlihat normal saat CT scen sebelumnya sudah berubah menjadi sel anaplasik. Sel anaplasik ini sudah tidak normal meskipun belum terlalu abnormal seperti stadium teramhir dari penyakit ini tapi sudah sangat berkembang aktif dan sangat cepat. kanker otak yang Aleta alami sudah sampai di stadium 3.” Dokter Maya mengatakan itu dengan raut wajah khawatir kalau saja Arna kembali terkena serangan jantung seperti tempo hari.
Bahu Arna mengendur dan tubuhnya melemas dan seketika mendingin. Darahnya terasa membeku. “Kita harus segera mengambil tindakan, Bu. Kita bisa melakukan beberapa cara pengobatan ada kemotrapi atau radiotrapi. Tapi, Bu Arna, saya hanya mengingatkan bahwa semua pengobatan itu bukan berniat untuk menyembuhkan. Semua itu hanya memperhambat. Semuanya kita kembalikan lagi kepada Tuhan, dia yang memegang semua kekuasaan. Kita hanya perlu berusaha, kan?” kata Dokter Maya.
Arna terpundur lemah. Untung saja Rimi dengan sigap menopang bahu Arna sehingga dia tidak jatuh. Arna membekap mulutnya. Air mata mulai membanjiri wajahnya.
“Bu Arna, tidak perlu mengambil keputusan mengenai pengobatan sekarang. Nanti akan saya temui lagi dan menjelaskan kembali sistem dari masing-masing pengobatan dan tolong jaga kondisi tubuh Ibu jangan sampai Ibu ikut tumbang. Saya tinggal dulu, kita sama-sama berdoa yang terbaik untuk Aleta.” Setelah mengatakan itu Dokter Maya pergi ke luar ruangan rawat.
Saat itu juga Arna terduduk di lantai. Isakannya semakin jadi. Riki tidak berbuat apapun dia hanya menenagkan Arna.
***
Setelah Arna cukup tenang, Riki membawanya duduk di sofa yang ada di dalam ruangan rawat itu.
Mata Riki melirik brankar, Aleta masih setia terlelap di sana dengan beberapa selang di tubuhnya.
“Aleta Cucu Oma satu-satunya. Dari kecil dia sudah ditinggalkan kedua orang tuanya. Dia tumbuh dewasa tanpa Ayah dan Ibu,” kata Arna sambil memandang lurus ke arah Aleta.
Riki menoleh ke arah Arna. Matanya berkaca dan raut wajahnya begitu sulit di artikan. Dia tersenyum sekilas lalu Arna kembali lanjut berbicara. “Dia terbiasa berbeda dengan teman sebayanya. Hingga liburan semester genap lalu Oma membawa Aleta ke Dokter Maya. Sebelumnya Oma memeperhatikan banyak perubahan dari Aleta. Dia sering terlihat sakit kepala, mudah melupakan sesuatu entah kadang susuatu yang kecil atau besar, sering terlihat pucat dan tampak lemas dan Oma selalu mendengar dia mengahabiskan waktu malamnya berkutik dengan laptop. Dia hanya tidur selepas salat subuh. Oma sudah bicarakan semuanya dengan Aleta dan jawabannya itu semua biasa. Sakit kepala karena terlalu banyak berpikir untuk program OSIS pun dengan prihal kelelahannya lalu soal dia yang hanya tidur sejam sebelum pagi dia bilang dia hanya mengalami insomnia biasa.” Arna menarik napasnya perlahan dan air mata terus saja mengaliri wajahnya.
“Oma punya Dokter yang sudah lama kenal bisa di bilang Dokter keluarga sejak dulu. Dari Dokter Maya lah Oma tahu bahwa gejala yang Aleta alami mengarah ke gejala kanker otak. Oma membutuhkan waktu untuk membujuk Aleta agar mau di periksa dan berhasil dia di periksa Dokter Maya. Setelah menunggu CT scen keluar akhirnya hasilnya kami ketahui. Pada saat itu Aleta sudah mengalami kanker otak stadium 2. Dokter Maya mengatakan bahwa lebih baik sejak awal Aleta menjalani kemotrapi atau radiotrapi tapi Aleta menolak katanya kalau kemo akan ada efek sampingnya, rambutnya akan rontokkan bahkan dia bisa botak. Aleta tidak ingin itu terjadi, dia tidak ingin semua orang tahu bahwa dia sedang ... Sekarat.” Arna tersedu mengatakan itu.
“Terutama teman-temannya dan Johan. Dia begitu mencintai Johan dia tidak ingin waktu Johan akan terbuang percuma untuk dirinya yang tidak memiliki waktu,” lanjut Arna.
Arna menangkup wajahnya lagi lalu menangis sejadi-jadinya. Riki masih diam tak bergeming ataupun bersuara. Perasaan bersalahnya semakin meruak setelah mendengar semuanya.
Air mata yang sedari tadi di tahannya di pelupuk kini jatuh mulus begitu saja di wajah Riki. Pilu di ulu hatinya terasa dan perasaannya saat ini begitu hancur. Bagaimana dia sebodoh ini? Mengapa dia terlambat mengetahui semua ini? Riki menoleh ke arah Arna lalu menggepalkan tangannya kuat.
Di hapusnya air matanya agar Arna tak menyadari bahwa dia menangis. “Oma, semuanya akan baik-baik saja,” kata Riki.
Arna mengusap dahinya lalu memandng Riki dengan raut wajah yang sangat kusut. “Riki tolong jangan beri tahu ini dengan siapapun. Aleta melarangnya,” ucap Arna.
Riki mengangguk. “Iya.”
“Terima kasih Riki.”
Arna sedikit tenang dan sekarang sudah menemui Dokter Maya untuk membahas mengenai pengobatan Aleta sementara itu Riki meninggalkan ruangan Aleta menuju ruangan lain.
Riki berjalan menelusuri koridor dengan perasaan berkecamuk. Ruangan yang ia tuju sedikit jauh dari ruangan Aleta.
Sudah di ambang pintu, Riki memelankan langkahnya. Tangannya bergerak membuka knop pintu saat itu pula hati Riki kembali teremuk. Pintu terbuka menampilkan seseorang perempuan cantik dengan rambut panjang, mata tertutup rapat, tangan terlipat rapi di atas perutnya dan terdapat alat pembantu untuk memberikan oksigen yang menangkup di hidung perempuan itu.
Riki mendekat. Dia memandangi perempuan itu dari kepala sampai ujung kakinya yang tertutupi selimut rumah sakit. Suara deteksi jantung terus terdengar di telinganya. Riki melihat benda segi empat seperti komputer yang memoerlihatkan detak jantungnya normal.
Kurang dua bulan dia genap setahun terbaring di sini. Tidak ada tanda apapun yang menunjukkan berapa lama lagi dia akan sadar dari tidurnya. Dia begitu asyik dengan tidurnya sehingga begitu enggan bangun.
Selama itu pula Riki selalu kemari dengan menggantungkan harapan bahwa gadis ini akan sadar. Dia tersenyum pilu menatap perempuan itu. Digenggamnya tangan milik perempuan itu dan kemudian berujar, “kamu belum mau buka mata?”
Tak ada respons apapun, hanya terdengar deteksi jantung gadis itu. Riki menarik napasnya dalam-dalam, ini terasa sangat menyakitkan. “Aleta ada di sini,” lirihnya.
...
Salam sayang
NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish Look for Miracle | Lengkap √
Fiksi Remaja(Re-publish) Judul awal "Aleta" Kamu akan tetap menjadi mentariku kala gelap menghampiri... Kamu tetap menjadi mentariku kala malam menemani... Kamu tetap menjadi mentariku bahkan ketika dunia tak mengizinkan mentari dan bintang bersatu... Kisah...